Menjawab Syubhat Fatwa Demokrasi
Oleh : Abu Hanan Sabil Arrasyad
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan
dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan
barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi
petunjuk kepadanya.
Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk
disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap
kesesatan ada di neraka.
“ Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau engga menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” ( An Nisa : 135 )
Diantara orang-orang yang pro dengan demokrasi dan dan pro pemilu (kaum
hizbiyun) ada yang mengatakan “ Ulama-ulama Ahlussunnah yang mulia telah
berfatwa tentang disyariatkannya demokrasi dan pemilu bahkan bolehnya di
masuk di dalam parlemen.Para Ulama tersebut jelas bukan orang-orang
hizbiyun (fanatik partai dan kelompok). Diantara mereka ada Syaikh
Nashirudin Al Albani Ahli hadist zaman ini Syeikh Ibnu Baz dan Syeikh
Ibnu Ustaimin rahimahumullah. Lantas apakah kita golongkan mereka kepada
yang telah lalu?
Jawabannya tentu tidak karena mereka adalah ulama kita mereka pelindung
Islam dan mereka adalah orang-orang yang dengan tegas selalu
memperingatkan tentang bahaya hizbiyah begitu juga para masyaikh yang lain
seperti Syeikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’I Muhaddist negeri yaman. Adapun
berkenaan fatwa para ulama tersebut fatwa-fatwa mereka bersyarat dengan
batasan-batasan syar’I, Diantaranya apabila maslahat yang besar dapat
dicapai atai menolak mafsadat yang besar melakukan mafsadat yang kecil
dengan tetap menjaga batasan-batasan dalam kaidah ini.kemudian hal
tersebut pun jika memang seorang tersebut sudah berada di dalam parlemen
kuffar namun dia baru menyadari tentang hukum-hukumnya, dan kejelekkan
demokrasi dan lainnya dan dia tidak mampu keluar dari parlemen tersebut
(mungkin ancaman dibunuh dan lainnya, atau seperti Najasyi Raja Habsyah
yang mengetahui Islam setelah dia menjadi pemuka pemerintahan Kristen di
habsyah) artinya mereka memang sudah berada di dalam parlemen tersebut
baru mengetahui hukumnya (terpaksa) bukan mereka memasuki parlemen dengan
menjadi calon di dalam pemilu dengan mencari dan mengejar jabatan, dan
banyak syarat-syarat lainnya, Akan tetapi da’i-da’I demokrasi ini tidaklah
menjaga batasan-batasan tersebut. Bahkan yang lebih parah lagi mereka
membawa-bawa ulama-ulama salaf yang terdahulu seperti Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan muridnya Imam Ibnu Qayyim Rahimahumullah padahal jelas-jelas
ulama-ulama tersebut dengan tegas tidak pernah berfatwa tentang demokrasi
dan sikap mereka tegas dalam masalah al wala wal baro tidak mencampurkan
antara ajaran-ajaran yang bukan dari Islam ke dalam Islam dengan
label-label syariat.
Syarat-syarat mempergunakan kaidah “ melakukan kerusakan yang lebih kecil
demi menangkal kerusakan yang lebih besar”
1. Kemaslahatan yang diharapkan memang benar adanya ( seperti yang
dilakukan Syeikhul Islam ketika membiarkan orang-orang kafir Tartar
meminum khamr karena jika mereka diingkari, pekerjaan mereka ketika tidak
mabuk adalah membunuhi kaum muslimin) bukan mengambil sesuatu yang masih
mengambang dan belum jelas. Kita tidak boleh melakukan suatu kerusakan
yang nyata dengan alas an untuk menarik kemaslahatan yang belum pasti.
Seandainya system demokrasi memang menopang Islam dan Syariatnya dengan
sebenar-benarnya, pastilah (orang-orang partai) di Mesir, Syam, Al
Jazair,Pakistan, Turki,atau di negeri lain di muka bumi telah sukses
semenjak enam puluh tahun yang lalu. Begitu pula di Indonesia lihatlah
negeri ini semenjak merdeka sampai saat ini, Islam selalu diperjuangkan
dengan system demokrasi, maka tidak akan pernah menggapai apa yang
diinginkan oleh pembawa Islam pertama kali yaitu Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam.
2.Kemaslahatan yang diharapkan lebih besar daripada kerusakan yang
dilakukan itu dengan pemahaman ulama yang kokoh ilmunya Bukan dengan
pemahaman orang-orang tenggelam dalam pergerakan fanatik hizbiyah atau
juga para pengamat partai.
Orang yang mengetahui kerusakan demokrasi yang banyak adalah penghapusan
syariat Islam dan tidak butuh kepada para Rasul, karena halal dan haram
oleh mereka ditentukan dengan pendapat mayoritas bukan dengan apa yang
dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Orang yang mengetahui bahwa diantara kerusakan demokrasi adalah
melenyapkan pondasi Al wala wal baro’ karena agama menyamarkan aqidah yang
jelas demi merekrut hati dan suara serta meraup kursi parlemen. Orang yang
mengetahui hal ini tidak akan mengatakan bahwa masuk parlemen lebih ringan
bahayanya bahkan yang benar adalah sebaliknya, dan kaulaupun kita terima
bahwa hal itu seimbang antara mudhorot dan maslahat maka kaidah yang harus
dipakai adalah menolak bahaya dikedepankan daripada mengambil maslahat.
3. Hendaknya tidak ada jalan untuk menggapai kemaslahatan tersebut,
kecuali dengan mengatakan bahwa dalam perkara ini tidak ada jalan berarti
kita telah memvonis manhaj Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam tidak
layak pakai untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi.
Adapun orang-orang yang mengikuti kebenaran mengetahui bahwa metode
demokrasi dan kehidupan multi partai tidak menambah apa-apa kecuali hanya
memperlemah saja. Karena sebab itulah musuh-musuh Islam dari kalangan
Yahudi, nashara dan lain-lainnya terus berupaya melestarikan berhala ini
di bumi lihatlah antek-antek mereka yang berhaluan liberal selalu
mengatasnamakan demokrasi dan HAM untuk menyerang Islam dari luar maupun
dari dalam hingga tokoh ulama hizbi pun mereka masukkan ke dalam daftar
pengikut mereka karena membela demokrasi (lihat orientalis Charles
Kurzman. Dalam bukunya Islam Liberal memasukkan Dr Yusuf Qardawi
hafizhullah sebagai seorang tokoh liberal)
Dan Allah maha mengetahui di balik semua itu.
Sebagai catatan:
Kenapa kita dapati orang-orang hizbiyun tidak berpegang kepada ulama-ulama
mereka sendiri (ulama hizbi) yang berfatwa tentang bolehnya demokrasi dsb,
mengapa mereka malah berpegang kepada fatwa ulama ahlussunnah seperti
Syeikh Al Albani, Syaikh Bin Baz dan Syeikh Ibnu Ustaimin Rahimahumullah?
Jawabannya:
Sesungguhnya ulama-ulama hizbiyun di berbagai Negara muslim telah
tenggelam dalam fanatik golongan (tahazzub) Sesungguhnya fanatik golongan
ini adalah penyakit yang mematikan dengan sebab itulah kaum muslimin tidak
puas dengan fatwa mereka. Karena seringnya mereka mengaburkan
masalah-masalah agama. Hingga hal ini terjadi mereka mengambil mencomot
fatwa ulama ahlussunnah tatkala mereka terdesak.
Dan apabila mereka telah tidak membutuhkan hal itu, maka mereka pun
berujar bahwa ulama Ahlussunnah adalah orang-orang bodoh yang tidak
mengerti fiqhul waqi” (fikih realitas) hanya mengerti kulit saja dan
permasalah-permasalahan remeh temeh. Dan berbagai tuduhan-tuduhan keji
lainnya.Sekadar contoh ketika Syeikh Abdul Aziz Bin Baz berfatwa dalam
masalah syarat dan ketentuan mengadakan perjanjian damai dengan Yahudi
maka mereka tidak henti-hentinya mencela menentang dan menghina beliau.
Siapakah yang mampu membungkam mereka? Siapakah yang mampu membuat mereka
puas? Akhirnya masing-masing baik yang berilmu maupun yang tidak berilmu
seakan-akan syeikh Ibnu Baz adalah orang yang tidak mempunyai ilmu
pengetahuan dan pengalaman, maka berteriaklah mereka di mimbar-mimbar
mereka membombardir fatwa tersebut. Bahkan Syeikh Al Albani dikatakan
oleh para fanatik hizbiyah ini sebagai seorang kaki tangan zionis karena
menasihati mereka. ( kaset ceramah tokoh partai FIS Al Jazair ) atau
pemotongan kaset nasihat Syeikh Ibnu Ustaimin kepada para pemuda FIS.(
madariku annadzhor fi as siyasah, Syeikh Abdul malik Al Jazairi) dengan
menghilangkan nasihat hanya kaset pujian saja yang diedarkan.
Itulah sikap mereka kaum hizbiyun yang sebenarnya terhadap ulama ahlussunnah.
Alhamdulillah ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah senantiasa berprasangka
baik dan bersabar kepada manusia. Allah Maha Mengetahui antara orang yang
membuat kebaikan dan yang membuat kerusakan.
Demikian juga, bila mereka konsisten dengan fatwa Syaikh Al Albani,Syaikh
Bin baz dan Ibnu Ustaimin maka mereka harus menerima fatwa mereka dalam
mengharamkan tahazzub (fanatick golongan dan partai), maulid Nabi
Shallallahu alaihi wasallam. Taqlid kepada tokoh-tokoh mereka, tawassul
dan lain-lain yang mereka masih melakukan hal-hal tersebut
“ Mengapa kamu mencampur adukkan antara yang haq dengan yang bathil dan
menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui” (QS Ali Imran :71)
Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami
kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan itu sebagai
sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.
Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.
Wallahu A’lam
Maraji: Madariku an nazhar fi as siyasah,
( Syeikh Abdul Malik Ramadlan Al Jazairy)
Tanwir Azh Zhulumat bi Kasyfi mafasid wa Syubhat
Al intikhabaat
(Syeikh Muhammad Bin Abdillah Al Imam)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home