Tuesday, March 20, 2007

Penjelasan Hadit Tentang Ahlul Bait Nabi. Shallallahu alaihi wa sallam.

Oleh: Abu Hanan Sabil Arrasyad

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Adalah Menjadi suatu kebiasaan dan taktik bagi orang-orang syi’ah rafidhah ketika berhujjah adalah mengkhususkan sebuah ayat atau hadist dengan sebab turunnya (asbabul nuzul atau asbabul wurudnya) Oleh itu kita biasa menemui hujah Syi‘ah rafidhah yang berbunyi: “Ayat sekian-sekian dan hadist sekian turun karena ‘Ali karena ahlul bait dst……” dan: “Hadis sekian-sekian dan hadist sekian adalah untuk ‘Ali karena ahlul bait……”

Adapun para ulama Islam ketika menjawab hal ini cukup dengan sebuah kaidah ushul fiqh “al ibroh “yang diambil adalah keumuman lafaz dan bukan kekhususan sebab”

Asbabun Nuzul bagi sebuah ayat alqur’an ataupun asbabul wurud bagi sebuah hadist tidak berperanan mengkhususkannya jika ayat atau hadist itu sendiri diturunkan dalam bentuk yang umum. Hikmahnya supaya perbicaraan ayat dan hadist dapat dipakai sebagai hukum sampai hari kiamat tidak terikat dengan sebab tertentu.

Karena jika setiap ayat alqur’an dan hadist dikhususkan perbicaraannya berdasarkan sebab penurunannya (Asbabun nuzul dan asbabul wurudnyal), berarti ayat dan hadist tersebut hanya sah dipakai (valid) karena faktor penyebabnya. Apabila faktor ini telah hilang, maka hilanglah juga nilai perbicaraan ayat atau hadist tersebut
Contohnya, apabila sebuah ayat atau hadist yang umum dikhususkan hukumnya karena satu perbuatan tertentu ahlul bait yang menjadi sebab turunnya ayat atau hadist, maka nilai hukum ayat dan hadist akan hilang apabila ahlul bait tersebut berhenti melakukan perbuatan tersebut. Apalagi selepas itu apabila ahlul bait tersebut meninggal dunia.
hal ini pasti tidak mungkin berlaku terhadap kitab Alqur’an dan Hadist Nabi yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala kepada seluruh generasi manusia sehingga ke hari Kiamat.

Demikian juga dengan taktik mereka dalam dengan membawakan hadist tentang Ahlul bait.

Penjelasan tentang hadist tentang ahlul bait Nabi.

Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
"Aku tinggalkan dua perkara yang berat (besar) yang pertama adalah kitabullah, padanya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah kitabullah itu dan berpegang teguhlah dengannya…dan (yang kedua adalah) Ahlul Baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul Baitku..”

(Shahih: Sebagian dari hadist yang panjang dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih Muslim - no: 2408. (Kitab Keutamaan Para Shabat, Bab Keutamaan 'Ali bin Abi Talib radiallahu 'anhu). Juga dikeluarkan oleh al-Tirmizi, al-Thabarani dan lain-lainnya sebagaimana diterangkan oleh Syeikh alAlbani dalam Silsilah Hadis Sahih, jld 4, ms 355-361, no: 1761. Lihat juga didalam Riyadhus Shalihin no.346 dan Ad-Durrul Mantsur 6/605, Hadis di atas masyhur dengan beberapa lafaz lain, tetapi ada sebuah yang bermaksud: Wahai manusia, aku tinggalkan bagi kalian, (apa yang) apabila kalian berpegang kepadanya, kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah dan keturunan keluargaku (Ahli Bait). Lafadz dengan tambahan khusus kalian tidak akan tersesat dikeluarkan oleh Ahmad, al-Tirmizi, al-Thabrani dan lain-lain, dalam sanadnya terdapat kelemahan yang bermula dari perawi yang berasal dari Kufah, Iraq. Hadist dengan tambahan lafadz ini telah dibahas secara mendalam oleh Dr 'Ali Ahmad Al Salus dalam Ensiklopedi Sunnah Syiah, jld 1, ms 113-131. Tuduhan sebagian orang bahwa ia telah diriwayatkan oleh lebih duapuluh orang sahabat adalah keliru, berawal dari kegagalan untuk membedakan antara beberapa lafadz yang ada).

Disebutkan oleh Ats-Tsa’labi dan Qadli ‘Ayyadl bahwa mereka adalah Bani Hasyim secara keseluruhan, sehingga termasuk pula didalamnya Al-Harits bin Abdul Muthalib dan keturunannya dan Hamzah bin Abdul Muthalib beserta anak keturunannya. Sebagaimana lanjutan hadist tersebut. “…yang dimaksud dengan Ahlul Bait disini adalah orang yang diharamkan shadaqah setelah wafat beliau. Hushain kembali bertanya: "Lalu siapa mereka?" Zaid menjawab: "Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas …" (Shahih Muslim 2408.)

Keluarga ‘Ali adalah ‘Ali sendiri, Fathimah, Hasan dan Husein beserta anak turunnya.
Keluarga ‘Aqil adalah ‘Aqil sendiri dan anaknya yaitu Muslim bin ‘Aqil beserta anak cucunya.

Keluarga Ja’far bin Abu Thalib yaitu Ja’far sendiri berikut anak-anaknya yaitu Abdullah, Aus dan Muhammad.

Keluarga ‘Abbas bin Abdul Muthalib yaitu ‘Abbas sendiri dan sepuluh puterannya yaitu: Al-Fadlel, Abdullah, Qutsam, Al-Harits, Ma’bad, Abdurrahman, Ubaidillah, Katsir, ‘Aus dan Tamam dan puteri-puteri beliau juga termasuk di dalamnya.

Keluarga Hamzah bin Abdul Muthalib yaitu Hamzah sendiri dan tiga orang anaknya yaitu Ya’la, ‘Imarah dan Umamah. (Fathul Bari 7/98)

Termasuk dalam kategori Ahlul Bait adalah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Ummahatul Mukminin yang dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya dan juga orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al ahzab 32-34 dan dalam hadist muslim diatas "Siapakah Ahlul Bait beliau wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau termasuk Ahlul Bait beliau?" Zaid menjawab: "Istri-istri beliau memang termasuk Ahlul Bait beliau…”(Shahih Muslim 2408.) Mereka adalah :

Khadijah binti Khuwalid,
Saudah binti Zum’ah,
‘Aisyah binti Abi Bakr Ash-Shiddiq,
Hafshah binti ‘Umar Al-Faruq,
Zainab binti Khuzaimah Al-Hilaliyyah,
Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah Al-Makhzumiyyah,
Zainab binti Jahsy Al-Asadiyyah,
Juwairiyyah binti Harits Al-Khuza’iyyah,
Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan Al-Qurasyiah,
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, dan
Maimunah binti Al-Harits Al-Hilaliyyah.

Mereka semua adalah istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di dunia dan di akhirat. (Lihat sekelumit keterangan tentang mereka dalam Ma’arijul Qabul 2/496-497 dan Syarah Lum’atul I’tiqad hal. 153-154)

Kemudian Syeikh Albani Rahimahullah menambahkan penjelasan tentang yang dimaksud dengan ahlul bait , bahwa yang dimaksud dengan ahlul bait disini juga adalah para ulama, orang-orang sholeh serta orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab dan sunnah dari kalangan mereka (ahlul bait). Sebagaimana perkataan Al Imam Abu Ja’far at Thohawi bahwa al itrah adalah ahlul bait nabi yaitu orang-orang beragama dan istiqomah terhadap perintah nabi” kemudian Syeikh Al Qory juga mengucapkan pernyataan senada dengan pernyataan beliau “sesungguhnya ahlul bait pada umumnya adalah orang yang paling mengerti tentang shahibul bait (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) dan paling tahu tentang hal dan keadaannya. Maka yang disebut dengan ahlul bait disini adalah para ulama di kalangan mereka yang mengerti tentang seluk beluk hidupnya dan orang-orang yang menempuh jalan hidupnya serta orang-orang yang mengetahui hukum dan hikmahnya. Dengan inilah maka ahlul bait dapat digandengkan dengan kitab Allah “…Dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah..”(Qs Al Jumu’ah :2) (lihat Silsilah hadist as shahihah hal 620)

Maka Syaikh Shalih Fauzan mengatakan:"…kita diperintahkan untuk mencintai mereka (Ahlul Bait), menghormati dan memuliakan mereka selama mereka berittiba’ kepada sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang shahihah dan istiqamah (komitmen) di dalam memegang dan menjalani syariat agama. Adapun kalau mereka menyelisihi sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan tidak istiqamah di dalam memegang dan menjalani syariat agama, maka kita tidak diperbolehkan mencintai mereka sekalipun mereka Ahlul Bait Rasul…"(Syarh ‘Aqidah Wasithiyyah hal. 148)
Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.

Wallahu A’lam

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home