Friday, February 17, 2006

Merajut Ukhuwwah di Atas Al Qur’an dan Sunnah

Oleh : Abu Hanan Sabil Arrasyad

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan
dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan
barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi
petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk
disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.



Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap
kesesatan ada di neraka.

Ukhuwwah Islamiyah adalah suatu karunia yang Allah Ta’ala berikan ke dalam
hati-hati hambanya yang ikhlas, dan orang-orang yang bertaqwa kepadaNya.
Allah tegaskan hal ini pada ayat berikut:

“ Seandainya engkau belanjakan apa yang ada di bumi semuanya, tidaklah bisa engkau persatukan antara hati
mereka, tetapi Allah lah yang mempersatukan antara mereka”(Al Anfal: 63).

“ Dan ingatlah ni’mat Allah atas kamu, tatkala kamu bermusuh-musuhan,
lalu ia jinakkan antara hati-hati kamu, lantas dengan ni’mat Allah kamu
jadi bersaudara” (Ali Imran: 103).

Ukhuwwah adalah kekuatan yang bersumber dari iman atau aqidah yang
melahirkan perasaan spiritual berupa kasih sayang, kecintaan, kemuliaan
dan rasa percaya dan mendahulukan kepentingan kepada saudara seaqidah. Dan
darinya akan timbul sikap tolong menolong, mengutamakan orang lain, rasa
sayang pemaaf, pemurah, setia kawan dan sikap-sikap mulia lainnya. Maka
jelaslah bahwa ukhuwwah Islamiyah adalah sifat yang menyatu dengan iman
dan taqwa. Kedua komponen ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya,
Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu tidak lain melainkan bersaudara” (Al
Hujurat: 11).

Dari ayat ini terlihat jelas bahwa hanya dengan iman atau tauhid lah kita
dapat berukhuwwah, bukan dengan ikatan-ikatan semu seperti kelompok,
partai dsb. Karena hanya Allah Ta’ala lah yang dapat menyatukan hati-hati
manusia, dan hati-hati manusi akan bersatu karena tauhid, oleh karena itu
yg disebut di ayat ini adalah lafadznya adalah mukmin bukanlah hanya
muslim sebagai syarat ukhuwwah tersebut.

“ Teman-teman akrab pada hari itu sebagianya menjadi musuh sebagian yang
lain, kecuali orang yang bertakwa”( Az Zukhruf: 67).

Jika ukhuwwah kosong dari iman maka yang menjadi ikatannya adalah
kepentingan pribadi atau kelompok, partai dsb. Hal ini jelas cepat atau
lambat akan menghancurkan nilai ukhuwwah itu sendiri. Sedangkan
persahabatan yang lepas dari akar taqwa sudah tentu akan menghasilkan
permusuhan dan kebencian, seperti tampak pada awal terjadinya konflik
dalam sejarah manusia, persaingan merebut harta rampasan (ghanimah) dan
mengejar kepentingan dan keuntungan.

Maka jika anda menjumpai seseorang mengaku berukhuwwah tetapi tidak
memperhatikan pentingnya masalah iman (aqidah) dan taqwa maka berarti
ukhuwwah itu palsu dan semu.Begitu pula jika seorang itu mengaku beriman
dan bertaqwa, tetapi tidak memiliki rasa ukhuwwah berarti imannya masih
setengah-setengah dan taqwanya palsu. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:

“ Tidak beriman seorang dari kamu sehingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR Bukhari-Muslim).

“ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (Al Maidah: 2).

Orang-orang yang sikap kemanusiaannya dibentuk dari rasa iman dan taqwa
bukan kepentingan pribadi, kelompok/partai, dan golongan. Jika bertemu
dengan orang yang seiman dengannya maka timbulah rasa simpati antar
mereka. Ketika rasa cinta (mahabbah) mulai mekar di hati, ukhuwwah
merambat ke seluruh peredaran darahnya, maka rasa suka cita memancar di
wajahnya. Selanjutnya berjalan bersama saling bahu membahu dengan penuh
kejujuran dan kesetiaan di bawah naungan cinta (mahabbah) yang tulus.
Sebaiknya jiwa yang tumbuh di atas tumpukan kekejian dan berakar pada
ambisi pribadi kelompok dsb. Tak mungkin menyatu dengan jiwa yang dipenuhi
dengan iman dan taqwa meskipun dipaksakan. Sebab keduanya saling bertolak
belakang. Keduanya berasal dari Aqidah dan Manhaj (metode) yang
bertentangan, sebagaimana ilmu dan kejahilan tidak mungkin bersatu.

Sehingga jelaslah bahwa berbeda Aqidah dan manhaj(metode) tidaklah mungkin
menyatukan manusia dalam ukhuwwah yang hakiki.
“ Manusia adalah barang tambang seperti tambang emas dan perak. Orang yang
terpilih dari mereka pada zaman jahiliyah, adalah orang yang terpilih di
dalam Islam apabila mereka memahami. Ruh-ruh itu adalah tentara yang
dikumpulkan. Maka yang saling mengenal akan berkumpul, dan yang saling
tidak mengenal akan berpisah” ( HR Bukhari dan Muslim).

Syarat-syarat Ukhuwwah.

1. Ikhlas
Ukhuwwah Islamiyah akan terlaksana selama pelaku-pelakunya mampu
membebaskan diri dari kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok,
partai dan golongan.dan hanya menjadikan Allah Ta’ala
semata-mata sebagai tujuan. Sehingga landasan yang dipakai dalam
berjuang adalah landasan Islam bukan hanya label namun juga
aplikasi dan pengamalan. Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah
dengan pemahaman sahabat dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan
demikian barulah hasil positifnya dapat dirasakan masyarakat.
Dan keharumannya kembali kepada Islam bukan kepada pribadi,
partai atau kelompok. Sehingga jelaslah kemuliaan ukhuwwah
Islamiyah itu.

2. Dilandasi loyalitas (Al Wala) dan Berlepas diri (Baro) yang dibingkai
dengan Al Qur’an dan Sunnah.
Tak dapat disangkal lagi bahwa ukhuwwah Islamiyah hanya akan
terwujud diantara orang-orang beriman dan bertaqwa. Artinya
seorang muslim hanya mengambil mukmin dan muttaqin menjadi
temannya.
“ Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wasallam bersabda ‘
Seseorang itu menurut agama sahabat dekatnya maka hendaklah kamu melihat
dengan siapa ia bersahabat” ( HR Dawud dan Tirmidzi).
Ukhuwwah Islamiyah yang dibentuk dari pribadi mukmin dan muttaqin
ikatannya sangat kuat dan kokoh, tak akan goyah meski badai fitnah
melandanya karena mereka bersaudara berlandaskan ilmu dan aqidah/
keyakinan yang haq.

3. Tegak Berasas Nasihat Karena Allah
Seorang muslim harus menjadi cermin bagi saudara mu’min lainnya.
Ia akan terus untuk selalu meningkatkan kebajikan, sebaliknya
jika terdapat kekurangan pada diri saudaranya ia akan
menasehatinya dengan cara yang baik dan menganjurkannya agar
segera bertaubat kembali kepada petunjuk agama yang Haq. Dengan
demikian terjadilah tolong menolong yang penuh keberkahan jauh
dari fanatisme semu. Sekaligus mendorong terbentuknya
persaudaraan atas dasar Islam dengan neraca syariatNya.
“ Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran” ( Al ‘Ashr: 1-3)
Imam Syafi’i, seorang ulama salaf termuka dengan pandangan yang tajam
mengatakan “ Andaikan Al Qur’an itu hanya surat Al Ashr, maka itu sudah
cukup menjadi hujjah dari Allah kepada manusia”.


4. Komitmen (Iltizam) dengan metode (Manhaj) Pemahaman Yang Benar
Hal ini akan terwujud jika mereka-mereka yang bersaudara ini
setia untuk tetap berhukum kepada hukum Allah dan mengembalikan
semua masalah kepada Allah dan RasulNya.
“...Jika kalian berbeda pendapat, maka kembalikanlah semuanya kepada Allah
dan RasulNya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An Nisa:
59).
Bagaimana metode (manhaj) yang benar dalam berukhuwwah, sedangkan hari ini
seluruh da’i menyerukan kembali kepada Al Qu’ran dan Sunnah namun
kenyataannya umat tetap berpecah dan tidak berukhuwwah dengan benar? Hal
ini disebabkan mereka memahami Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman
mereka sendiri bukan dengan pemahaman para Sahabat (Salaf) Radhiyallahu
Anhum yang jelas dijamin di Dalam Al Qur’an dan Sunnah.

“ Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan ihsan, Allah ridha kepada mereka dan merekapun Ridha kepada
Allah...”(At Taubah: 100).

Pemahaman merekalah yang harus kita contoh dalam segala hal termasuk dalam
berukhuwwah, mungkin sebuah kisah ini dapat menjadi sebuah renungan bagi
kita bagaimana mulia dan tingginya ukhuwwah mereka.

“Al Adawi dari Al Quthubi, ia berkata: “ Ketika berkecamuknya perang
Yarmuk, aku pergi mencari keponakanku dengan tujuan memberikan minum pada
saat dia akan menemui ajalnya. Lalu, keponakanku kutemui dalam keadaan
sekarat. Seterusnya aku dekati dengan membawa sedikit air dan aku
bertanya,’Maukah kamu meminum air ini?’Ia menganggukkan kepalanya.
Tiba-tiba terdengar rintihan temannya yang sangat mengharukan.haus, haus.
Dia mengisyaratkan agar aku menemuinya. Setelah aku temui ternyata ia
adalah Husein bin Ash. Kemudian aku berkata, ‘Maukah kamu minum air
ini?’Ia menggaukkan kepalanya. ‘tetapi Husein kemudian menolak karena
mendengar orang lain yang merintih pula, dan mengisyratkan kepadaku agar
aku menemuinya. Ketika aku menjumpainya, ternyata dia telah syahid. Lalu
aku kembali kepada Husein, dia pun telah syahid pula. Dan seterusnya aku
bergegas menemui keponakanku lagi, dan ternyata dia juga sudah syahid
Akhirnya ketiga orang tersebut tidak ada satupun yang meminum air tersebut
karena lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya”

Itulah sekeping mutiara dari lautan atsar para sahabat yang mulia, maka
sangat terlaknatlah orang-orang yang mencela para sahabat Radhiyallahu
Anhum,dan orang-orang yang berusaha mengikuti mereka dengan dalam kebaikan
dan ihsan. Justru hendaklah sikap generasi Islam terdahulu (Salafusshalih)
yang luar biasa ini menjadi tuntunan bagi kita.

Di akhir risalah ini mualif teringat perkataan Ali bin Abi Thalib Ra: dari
Abu Ishaq as Sabi’i, Imam Ar Rofi’i meriwayatkan:
Jadikanlah engkau sumber tambang kebaikan, dan maafkanlah segala kesalahan
yang menyakitkan. Sesungguhnya engkau dapat melihat apa yang engkau
lakukan dan dapat mendengar apa yang engkau ucapkan.
Jika kau mencintai seseorang, cintailah ia dengan cinta yang sewajarnya
saja. Sesungguhnya kamu tidak tahu kapan cinta itu akan kembali.

Maha Suci Allah segala puji bagiNya dan aku bersaksi tidak ada Tuhan
selainNya aku memohon ampun kepadaNya dan aku bertaubat hanya kepadaNya.

MENINGGALKAN SALAFUSSHALIH DAN MENGAMBIL KEBAIKAN SETIAP FIRQOH?

Oleh : Abu Hanan Sabil Arrasyad

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan
dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan
barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi
petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk
disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap
kesesatan ada di neraka.

Sungguh hari ini kita hidup ditengah perpecahan dan perselisihan yang
disebabkan oleh firqoh-firqoh di dalam tubuh kaum muslimin, maka sungguh
benar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

“ … Barangsiapa di antara kalian berumur panjang, niscaya akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka tetaplah kalian berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. …”(HR
Nasa’I dan Tirmidzi: HASAN SHAHIH. Lihat Kitab Firqah Najiyah oleh Syaikh
Jamil Zainu)

Maka untuk memilih jalan sunnah kita membutuhkan ilmu dan menanamkan
kepada diri kita kesiapan untuk menerima nasihat dan didalam menempuh
jalan ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi bimbingan:

“… yaitu mereka yang mendengarkan perkataan yang baik, dan mengikuti yang
terbaik diantaranya.” (QS Az Zumar:18)

Maka mencari ilmu dari ahlul ilmi dari mana pun adalah sebuah kebaikan,
karena hikmah itu adalah milik muslim yang hilang, maka ambillah ia dari
mana pun engkau mendapatkannyu. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam
menasihatkan: “… Terimalah kebenaran itu apabila engkau mendengarkannya,
karena atas kebenaran itu ada cahaya.”
(Shahih Abi Dawud, jilid 3, hal 872, hadits ke 3855).

Maka tolok ukur utama kita dalam menilai kebenaran dan mengambil ilmu,
yang pertama adalah ada tidaknya dalil tentangnya karena Rasulullah saw
mengatakan: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada contohnya
dari kami, maka amalan ibu tertolak.” (HR Mutafaqun ‘alaih)

Kemudian yang kedua, sesuaikah dengan pemahaman para salafush-shalih yang
Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengazakan tentang mereka:
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi orang-orang
sesudahnya, dan kemudian orang-orang yang sesudahnya.” (HR Arba’ah)

Allah Tabaraka Wa Ta’ala pun mengatakan tentang pemahaman para shahabat
radhiyallaahu ‘anhum ajma’in dengan firman-Nya: “Maka jika mereka beriman
kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah
mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada
dalam permusuhan.” (QS Al Baqarah: 137)

Seandainya apa yang kita pahami sesuai dengan pemahaman mereka maka itulah
al-haqq, maka siapa pun yang berada di atas pemahaman ini maka merekalah
yang disebut al-firqatun najiyah, merekalah assawaadul a’zham, dan itulah
al-jama’ah, sebagaimana dikatakan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Setiap yang mengikuti sunnahku dan para shahabatku.” ; “Kalian wajib
berpegana teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaui rasyidin” (HR Abu
Daud dan Tirmidzi). Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu: “Al Jama’ah itu ialah
setiap yang sesuai dengan al-haqq walau engkau seorang diri.” Dalam
riwayat yang lain dikatakan: “Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai
dengan ketaatan kepada Allah walaupun engkau sendirian.” Ibnu Khallal
rahimahullaah mengatakan: “Al Jama’ah ialah Jama’atul Muslimin, yaitu para
shahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai Hari
Akhir. Mengikuti mereka adalah hidayah dan menyelisihi mereka adalah
sesat.”

Maka jika ada seorang yang mengatakan ambilah kebaikan dari setiap firqoh
, ambilah adab dari jama’ah tabligh, ambillah jihad dari ikhwanul
muslimin, ambilah politik dari hizbut tahrir, dan seterusnya…kemudian
mereka membiarkan kesalahan yang terjadi para mereka, Sungguh orang ini
dengan tidak langsung menuduh salafushalih (Nabi dan para sahabatnya)
tidak mengerti adab, jihad bahkan politik….mengapa tidak kita ambil saja
semua itu dari mereka (salafushalih) bukankah mereka adalah sebaik-baik
panutan kita ? dan orang-orang yang lebih layak kita contoh. Lau kaana
khairan lasabaquunna ilaihi (seandainya hal itu baik tentulah para sahabat
telah mendahului kita mengamalkannya).

Atau mereka ini menyamakan menyandarkan diri kepada salafusshalih dengan
bentuk-bentuk hizbiyah yang ada sungguh sangat berbeda antara orang yang
menyandarkan diri kepada seorang mujtahid yang kadang benar kadang salah,
fanatik kepadanya, loyal dan benci karenanya dengan seseorang yang
menyandarkan diri kepada suatu kaum yang selamat, terjaga dari
penyimpangan dan kesesatan ketika muncul perselisihan.

“Artinya : Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan
semua masuk neraka kecuali satu. Beliau ditanya : ‘Siapa mereka wahai
Rasulullah ?’ Jawaban beliau : ‘Mereka adalah orang-orang yang berada di
atas apa yang aku dan sahabatku berada di atasnya” [Abu Dawud 4586,
Tirmidzi 2640, Ibnu Majah 3991 Ahmad 2/332]

Seakan-akan orang seperti inipun membiarkan perpecahan diantara kaum
muslimin, sesungguhnya Allah Taala telah mengabarkan tentang mereka dalam
al-Quran. Ia berkata ,"Janganlah kalian menjadi orang-orang yang berpecah
belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan. Dan mereka
mendapatkan adzab yang besar". Ia berfirman,"Sesungguhnya orang-orang yang
memecah belah agama mereka dan mereka (terpecah-belah menjadi beberapa
golongan) tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka". Ibnu
Katsir menjelaskan makna ayat ini,"Ayat ini secara umum menerangkan orang
yang memecah-belah agama Allah dan mereka berselisih. Sesungguhnya Allah
mengutus nabi-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar memenangkannya
atas semua agama. Syariatnya adalah satu yang tidak ada perselisihan dan
perpecahan padanya. Barang siapa yang berselisih padanya maka merekalah
golongan yang memecah belah agama seperti halnya pengikut hawa nafsu dan
orang-orang sesat. Sesungguhnya Allah taala berlepas diri dari apa yang
mereka lakukan".

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa syiar ahli
bid’ah adalah perpecahan,"Oleh karena itu al-Firqatun Najiah disfati
dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mereka adalah jumhur dan kelompok
terbesar umat ini. Adapun kelompok lainnya maka mereka adalah orang-orang
yang nyleneh, berpecah belah, bidah dan pengikut hawa nafsu. Bahkan
terkadang di antara firqah-firqah itu amat sedikit dan syiar firqah-firqah
ini ialah menyelisihi al-Qur’an, as-Sunnah serta ijma".

Kemudian orang-orang bermanhaj seperti ini melupakan nahi munkar di
tengah-tengah mereka dengan alasan “kita bekerjasama pada hal yang
disepakati dan bertoleransi pada hal-hal yang diperselisihkan” ,Na’am jika
ikhtilaf tersebut adalah ikhtilaf tannawu bukan ikhtilaf tadhod atau
bahkan ikhtilaf dalam masalah aqidah.


Sungguh setiap kita mempunyai kebaikan namun berarti kebaikan tersebut
harus membuat diri kita menjadi ujub dan merasa tidak perlu diberi nasihat
dan masukan lagi, bahkan menuduh para ulama yang memberi nasihat sebagai
para pendengki yang berlaku curang, subhanallah. Sungguh benar firman
Allah "... maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling
mengetahui tentang orang yang bertakwa." (An-Najm: 32).

Seorang yang benar-benar meneladani salafusshalih mereka akan senantiasa
berusaha menginstrospeksi dirinya namun hal tersebut tidak melalaikan
mereka dari menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar.

Hanya orang-orang yang merasa dirinya suci sajalah yang mereka lalai dan
merasa ujub tidak perlu lagi menerima nasihat, mengganggap nasihat adalah
kedengkian, kritik adalah hujatan, nahi munkar adalah kebencian. Dan
sungguh mereka ini juga sedang mentaqlidi syeikhnya yang tidak mau
menerima kritik dan masukan, walaupun mereka menuduh orang-orang yang
menasehati mereka sebagai orang-orang yang taqlid, sungguh sebenarnya
merekalah orang-orang yang curang dalam menilai diri mereka sendiri.

"Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan ummat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang mungkar,
merekalah orang-orang yang beruntung."(Qs Ali imran : 104)

Beramar maruf dan bernahi mungkar juga sebagai ciri khas ummat ini, yang
mereka sebaik-baik ummat di muka bumi ini. Dan setiap muslim yang
bersegera untuk mengamalkan ciri khas ummat ini, ia akan mendapat
kemuliaan dan berhak mendapat pujian Allah Subhanahu wa Taala. Tatkala
Umar bin Khatab radiyallahu anhu membaca ayat "Kalian adalah ummat terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah
yang mungkar"{Ali Imran : 110}

Beliau berkata : "Barang siapa yang ingin menjadi golongan ummat ini, maka
hendaklah ia tunaikan syarat yang Allah sebutkan. "Begitu mulia akhlak
ini, hingga setiap muslim harus memilikinya. Karena hanya orang-orang
kafir dan yang semisal dengan mereka yang tidak mau mengamalkan akhlak
ini, akibatnya mereka mendapatkan kemurkaan dan laknat Allah Subhanahu wa
Taala. Allah berfirman : "telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani
Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu
disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama
lain tidak melarang dari kemungkaran yang mereka perbuat. Sesungguhnya
amat buruklah apa yang selalu mereka lakukan."{Al-Maidah : 78,79}

Orang-orang yang meneladani salafusshalih adalah orang-orang yang selalu
siap menerima nasihat dan mereka siap rujuk kepada kebenaran, daripada
mempertahankan kesalahan yang ada para diri mereka. lihatlah bagaimana
Imam
Abul Hasan al-Asy'ari merujuk kepada manhaj salaf meninggalkan pemikiran
mu'tazilahnya, lihatlah bagaimana Imam Al Ghazali kembali kepada Hadist
Shahih Bukhari dan Muslim di akhir hayatnya, lihatlah bagaimana Syaikh
Rasyid Ridha meninggalkan tarikat sufiyah dan pemikiran-pemikiran
rasionalis gurunya (Muhammad Abduh), lihatlah bagaimana Imam Al Albani
rahimahullah meralat hadist-hadist yang dihaifkan dan dishahihkan beliau
setelah meneliti kembali,adakah itu menjadi kelemahan dan kehinaan
mereka?sungguh justeru disitulah letak kemuliaan mereka yang memang mereka
meneladani salafusshalih.

Maka sungguh tepat kita katakan kepada orang-orang yang merasa dirinya
suci sehingga mereka merasa lebih ber adab, lebih ber jihad, lebih faqih
dalam waqi dan politik daripada para salafusshalih, sebuah perkataan Imam
Ahmad rahimahullah Jika engkau diam dan aku diam (tidak mau membicarakan
kejelekan para rawi), maka bagaimana seorang yang bodoh dapat mengetahui
hadits shahih dari yang dha’if?. (lihat Irsyadul Bariyyah, hal. 103)

“Beruntunglah orang-orang asing yang mereka memperbaiki apa-apa yang telah
dirusak oleh manusia sesudahku dari sunnahku.” (HR At-Tirmidzi)

Semoga Allah senantiasa membimbing umat ini agar selalu bersatu di atas
bendera sunnah sesuai pemahaman salafusshalih, yang berdiri di atas
landasan aqidah ash-shahihah, serta menyeru manusia dengan manhaj sunnah
dan di atas jalan nubuwwah.

Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami
kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan itu sebagai
sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.

Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.

Wallahu A’lam

MASUK PARLEMEN? (SEBUAH TINJAUAN FIQH)

Bantahan Terhadap Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah Yang Digunakan Untuk Terjun
Kedalam Parlemen

Oleh : Abu Hanan sabil arrasyad

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan
dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan
barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi
petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk
disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap
kesesatan ada di neraka.

Sebelum kita masuk kedalam pembahsan, haruslah kita fahami dulu sebenarnya
yang dibenarkan dalam Islam. Supaya kita tidak terjerumus pada permainan
kata-kata atau bahkan dengan sengaja atau tidak sengaja mempermainkan
syari’at sebagaimana yang seringkali dilakukan oleh kaum sekuler dan Islam
liberal.

A. Tinjauan Mashlahat Mursalah


Dari pengertian yang diberikan oleh para ulama’ ada dua versi
pengertian untuk maslahat mursalah ini yaitu sebagai berikut:

1. kemashlahatan itu tidak ada dalilnya dari syariat yang khusus
mengenai persoalan tersebut yang menetapkan atau menolaknya.

2. kemashlahatan itu termasuk dalam keumuman dalil-dalil syar’I
yang menetapkannya atau menolaknya, meskipun tidak ada dalil khusus yang
berkaitan dengan masalah tersebut.

Pada pengertian yang pertama di atas jelas jika yang dimaksud dengan
maslahat mursalah itu seperti pengertian tersebut maka hal itu adalah
bertentangan dengan kesempurnaan Islam.
Alloh berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku………….…” (Al-Maidah: 3)

Oleh karena itu Alloh tidak membiarkan kita begitu saja untuk menganggap
maslahat dan menganggap baik sesuai deengan hawanafsu kita dalam masalah
syar’I dan agama. Alloh berfirman:

“ Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban).” (Al-Qiyamah: 36)

Oleh karena Itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam
kitab Ash-Shorimul Maslul:

Tidak boleh menetapkan hukum dengan sekedar menggunakan istihsan atau
istishlah, karena hal tersebut merupakan bentuk pembuatan syari’at
berdasarkan akal., berdasarkan firman Alloh :

“Menyimpulkan hukum dengan menggunakan maslahah mursalah (seringkali)
merupakan membuat syari’at dalam masalah din yang tidak diijinkan oleh
Alloh, dan dalam hal ini mirip dengan masalah istihsan, tahsin ‘aqli dan
hal-hal semacam itu dari beberapa sisi.”

Sampai akhirnya beliau mengatakan: “Kesimpulannya bahwasanya syari’at ini
tidaklah meremehkan sebuah kemaslahatanpun, akan tetapi Alloh telah
menyempurnakan agama dan nikmat-Nya kepada kita. Maka tidak ssesuatupun
yang mendekatkan kita ke jannah kecuali telah Rosululloh shallallahu
alaihi wa sallam katakan dan jelaskan kepada kita.

Dan beliau meninggalkan kita dalam keadan terang benderang, malamnya
bagaikan siang, tidak ada seorangpun yang menyeleweng darinya sepeninggal
beliau kecuali ia binasa. Akan tetapi jika akal menganggap sesuatu itu
mengandung kemaslahatan yang tidak disebutkan oleh syari’at, maka hal
tersebut pasti mengandung dua kemungkinan, baik sebenarnya syari’at telah
menerangkannya akan tetapi orang tersebut tidak mengetahuinya atau
sebenarnya yang ia anggap maslahat tersebut bukanlah kemaslahatan meskipun
orang tersebut menganggapnya maslahat. Karena sesungguhnya maslahat itu
adalah suatu manfaat yang diraih atau manfaat yang biasanya bisa diraih.

Dan banyak orang mengira sesuatu itu bernmanfaat bagi agama dan dunia
padahal sebenarnya ia lebih dekat dengan mudlorot, sebagaimana yang Alloh
katakan tentang khomer dan judi: “Katakanlah; pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan juga terdapat beberapa manfa’at bagi manusia namun dosa
keduanya lebih besar dari pada manfaatnya.”

Dan dibawa kepada pengertian inilah apa yang dikatakan oleh Imam
Asy-Syinqithi Rahimahullah
:”Oleh karena itu para penganut madzhab menetapkan maslahat mursalah itu
bukanlah hujjah dalam agama Alloh.

” (Lihat Mudzakirotul Ushul karangan Asy-Syinqithi hal. 170)

Adapun para ulama’ yang memggunakan maslahah mursalah dibawa kepada
pengertian maslahah mursalah yang kedua.

Oleh karena itu Abu Hasan Al-Amidi dalam kitab Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam
IV/216 setelah beliau menyebutkan pembagian maslahat ada yang dianggap
syah oleh syar’I, ada yang ditolak oleh syar’I dan ada pula yang dibiarkan
oleh syar’ii yang kemudian dikenal dengan maslahah mursalah. Beliau
mengatakan:



“Para fuqoha’ dari kalangan syafi’iyyah, hanafiyyah dan yang lainnya telah
sepakat atas tidak bolehnya berpegang dengan maslahat mursalah tersebut
dan inilah pendapat yang benar, kecuali sebuah riwayat menyebutkan bahwa
Imam Malik menggunakan maslahatan tersebut namun para sahabatnya
mengingkari bahwasanya Imam Malik berpendapat seperti itu. Mungkin jika
periwayatan itu benar maka yang paling mendekati bahwasanya ia tidak
berpendapat untuk semua kemaslahatan. Akan tetapi hal tersebut hanya
berlaku untuk kemaslahatan yang Dloruriyyah, Kulliyyah dan Qoth’iyyah,
bukan pada kemaslahatan yang tidak Dloruri, Kulli dan Qoth’i. Hak itu
sebagaimana jika orang-orang kafir melakukan tatarrus dengan sekelompok
kaum muslimin. Seandainya kita menahan diri tidak memerangi mereka mereka
pasti akan menguasai negeri kaum muslimin. Dan mereka akan memusnahkan
kaum muslimin sampai ke akar-akarnya. Namun jika tetap menyerang kaum
muslimin yang dijadikan tameng itu dan kita dapat memerangi mereka, akan
teratasi mafsadah yang akan menimpa kaum muslimin secara qoth’i meskipun
dalam hal ini harus membunuh orang islam yang tidak berdosa.

Pembunuhan seperti ini meskipun dibenarkan namun tidak ada nas yang
mengiyakannya atau melarangnya.

Jika hal ini dapat dipahami maka sebenarnya kemaslahatan itu hanya
berkisar pada dua saja yaitu yang dinyatakan oleh syar’I atau yang
ditentang oleng syar’i.

Sedangkan bagian ini (yang berada antara keduanya) maka membawa kepada
salah satunya tidaklah lebih benar dari pada membawanya kepada yang
satunya lagi. Oleh karena itu tidak boleh berpegang dengannya sampai ada
dalil yang menyatakannya diterima dan bukan termasuk yang ditolak.” Abu
Zahroh juga mengatakan:

1. Ulama Mazhab Malikiyah dan Hanabilah mengakuinya dengan
menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

a) Ada kesesuaian antara kemaslahatan yang dianggap sebagai dasar
yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat dengan demikian maka ia
tidak mengorbankan maslah-masalah pokok dan tidak bertentangan dengan
dalil-dalil qoth’i.
b) Kemaslahatan itu sendiri rasional, sejalan dengan sifat-sifat
yang pantas dan masuk akal.
c) Pelaksanaan kemaslahatan itu benar-benar dapat menghilangkan
kesulitan.
2. Ulama Mazhab Hanafiyah dan asy syafi’iyah tidak melihat sebagai
dasar yang berdiri sendiri, namun memasukkannya kedalam qiyas. (Lihat;
Ushul Fiqih karangan Abu Zahroh hal. 279-280)

Diantara syarat yang lain adalah
Dalam kitab Irsyadul Fuhul hal. 242 dikatakan:


”Jika kemaslahatan tersebut Dlorudiyyah, Qoth’iyyah dan Kulliyyah maka
kemaslahatan tersebut diakui namun jika salah satu dari tiga hal tersebut
tidak terpenuhi maka kemasslahatan tersebut tidak bisa diterima.”

Yang dimaksud dengan Dhoruriyyah adalah hendaknya kemaslahatan yang hendak
dicapai itu termasuk dari bagian dhoruriyyatul khomsah.

Dan yang dimaksud dengan Kulliyyah adalah berlaku untuk seluruh kaum
muslimin dan tidak hanya berlaku unuk sebagian kaum muslimin atau suatu
keadaan tertentu saja. Dan inilah yang dipilih oleh Imam Al-Ghozali
rahimahullah dan Imam Al-Baidhowi rahimahullah, dan Imam Al-Ghozali
rahimahullah memberikan permisalan dengan masalah
tatarrus ( Ketika non muslim menawan muslim sebagai perisai untuk
menghindari serangan).”

Dengan demikian maka pada pengertian yang kedua ini tepatlah jika
Imam Al-Qorroofi mengatakan:”Setelah diteliti sebenarnya maslahat mursalah
itu digunakan oleh seluruh madzhab.”
Dengan demikian maka apakah terjun kedalam majlis perwakilan termasuk
kedalam mashlahah mursalah ? jawabannya adalah jelas tidak karena ia
bertentangan dengan masalah pokok yaitu tauhid dan tidak pula termasuk
kedalam maqoshidusy syari’iyyah.

B. Saddudz Dzari’ah

Dzar’ah menurut pengertiannya bahasa adalah sarana, dan perantara .
sedangkan pengertian syar’inya adalah sesuatu yang bisa menghantarkan
kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan. Sedangkan Imam Al
Qarafymengatakan :” Sarana yang menghantarkan kepada tujuan yang paling
baik merupakan sarana yang baik pula, dan sarana yang menghantarkan kepada
tujuan yang paling buruk merupakan sarana yang paling buruk, dan sarana
yang menghantarkan kepada tujuan yang biasa, merupakan sarana yang biasa
pula.

Namun seringkali diartikan sebagai sarana yang menjurus kepada kerusakan,
karena itu digunakan Istilah sadzudz dzara’i’ yang berarti mencegah
perantara yang menjurus kepada kerusakan. Hal inilah juga yang digunakan
sebagai alasan bagi orang yang memperbolehkan untuk bergabung dengan dewan
perwakilan rakyat ( parlemen ).

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :” perbuatan atau perkataan
yang menjurus kepada kerusakan ada dua macam, pertama : sengaja
dibuat untuk menjerumuskan kepada kerusakan, yang kedua menjadi
obyek yang menjurus kepada yang mubah atau sunnah, lalu digunakan sebagai
perantara kepada sesutau yang diharamkan, baik sengaja
atau tidak sengaja”. (A’lamul Muwaqqi’in III/159)

Abu Zahrah menerangkan didalam kitab ushulul Fiqh, bahwa perbuatan yang
akhirnya mendatang kerusakan ada empat macam :
1. yang pelaksananya jelas mendatangkan kerusakan.
2. yang pelaksanaanya kadang bisa mendatangkan kerusakan.
3. yang bisa mendatangkan kerusakan dari sisi perkiraan yang kuat,
bukan dari ilmu yang qoth’I dan pertimbangan yang kuat.
4. yang pelaksanaannya sering mengakibatkan kerusakan, tapi hal ini
tidak sampai perkiraan yang kuat, atau ilmu qoth’I yang memastikan kepada
kerusakan.

Orang yang duduk di dewan perwakilan tentu tidak mau dimasukkan kedalam
bagian pertama dan kedua, al hasil mereka ragu ragu dalam perkara yang
ketga dan keempat walaupun pada hakikatnya mereka pantas untuk dimasukkan
dalam bagian yang pertama dan kedua.
Kalau seandainya mereka dimasukan dalam bagian yang ketiga, kerusakan yang
muncul dari keikutsertaan dalam dewan perwakilan, berasal dari perkiraan
yang kuat bukan berasal dari pengetahuan yang pasti, maka perlu
ditanyakan bagaiman mungkin ikut dalam dewan perwakilan yang memberi
kebebasan untuk menentukan hukum terhadap diri sendiri dimasukkan dalam
perkiraan yang kuat, bukan dari ilmu yang pasti. Bagaiman mungkin syariat
Allah yang sudah pasti, ditawarkan kepada dewan untuk diterima atau
ditolak. Jika hal ini sudah dapat dipahami dengan jelas, maka akan
jelaslah bahwa orang yang masuk dalam dewan perwakilan tidak bisa
dimasukkan dalam perkara Saddudz dzara’i’.

C. Darurat

Salah satu yang dijadikan alasan oleh para aktifis partai untuk ikut masuk
kedalam majlis parlemen adalah karena alasan kondisi darurat yang memang
mengharuskan mereka menggunakan cara tersebut. Hal ini sebagaimana yang
disebutkan dalam kaidah ushul

“Keadaan darurat itu membolehkan sesuatu yang asalnya adalah haram.”
Benarkah alasan ini ditinjau dari kaidah ushul maupun realita ?.
Dharurah secara bahasa adalah kesulitan menanggung bahya dan dloruroh
adalah lawan kata dari manfaat sedangkan kata al idltiror berarti
membutuhkan sesuatu.

Sedangkan doruroh menurut istilah adalah apabila manusia dihadapkan pada
suatu keadaan bahaya atau masyaqqoh (sulit) yang sangat berat sehingga ia
khawatir tertimpa bahaya pada jiwa, anggota tubuh, harta, akal atau
Kehormatan atau yang lainnya sehigga pada saat itu ia boleh atau wajib
melakukan sesuatu yang pada asalnya diharomkan atau meninggalkan kewajiban
atau menangguhkann pelaksanaanya sebagai upaya untuk mencegah bahaya yang
menurut perkiraannya bahaya itu akan menimpa dirinya dengan tetap berada
dalam ikatan syari’at. (Lihat Nadloriyah Adl-Dlorurotusy Syar’iyyah
karangan Dr. Wahbah Az-Zuhaili hal. 65)

Ada perbedaaan yang menadasar antara dloruroh dan mashlahah, dharurah
hanya diperbolehkan sesuai dengan kadar kesulitan dan kebutuhannya
sendangkan maslahat adalah dalam rangka mengambil manfaat atau menolak
bahaya. Demikian juga maslahah mencakup kebutuhan dasar, hajiayat dan
tahsiniayat sedangkan dorurat terbatas pada tingkat kesulitannya saja .

Disini ada dua hal yang harus kita perhatikan;
Pertama hukum asal yaitu berpegang teguh dengan manhaj nabawi sebagaimana
mestinya yaitu jihad dan I’dad jika tidak mampu.

Kedua hukum pengecualian yaitu terjun kedalam dewan perwakilan rakyat,
supaya bisa menjalankan hukum Islam.

Orang yang berpindah dari keadaan pertama kepada keadaan kedua disebut
dharurah kalau memang demikian keadaannya maka sesuatu yang dilarang
menjadi boleh. Keadaan yang kedua tidak berlaku keculai memenuhi beberapa
syarat:

1. Tidak ada kemungkinan memberlakukan hukum asal karena sebab
apapun, dalam kondisi yang mendesak, yang bisa menimbulkan bahaya jika
tidak dilakukan.
2. Mampu berfungsi sebagaimana hukum asalnya dalam meraih
maqoshidusy syari’ah yang mencakup agama, jiwa, kehormatan, akal maupun
harta.
3. Harus ada dalil syari’at yangmembolehkan berubahnya dari keadaan
pertama menjadi keadaan kedua.
4. Pengecualian menjadi mubah yang tadinya dilarang jika memenuhi
dua hal :

- Didasarkan atas keyakinan dapat memenuhi kemungkinan yang
menghasilkan pengecualian dari hukum dasar karena ketiadaan kebutuhan itu.
- Tidak dilakukan kecuali sekadar kondisi darurat yang dibutuhkan.
Kalau kita terapkan kaidah ini maka sebenarnya terjun ke dalam majlis
parlemen itu tidak bisa dikatakan kondisi darurot karena sebagai berikut:

a) Masih memungkinkan untuk berjalan dengan hukum asal yaitu
berjihad dan jika tidak mampu maka I’dad.
b) Terjun kedalam majlis perwakilan rakyat tidak bisa membawa misi
maqoshidusy syari’ah, di mana yang paling penting adalah hifdzud din dan
dalam agama ini yang paling pokok adalah tauhid sedangkan masuk kedalam
dewan perwakilan rakyat adalah bertentangan dengan syar’i sebagaimana yang
telah kita bahas di atas.

c) Merubah hukum asal (jihad dan I’dad) kepada hukum pengecualian
(dewan perwakilan) tidaklah ada landasannya secara syar’i.
d) Sesungguhnya terjun kedalan majlis parlemen itu akan menjadi
boleh setelah hukum asalnya haram jika memenuhi dua hal;

1. Ia bisa berfungsi sebagai pengganti manhaj nabawi (jihad) dalam
menegakkan hukum Islam.
2. Tidak ditempuh kecuali sesuai kadar darurat yang akan menimpa.
Sedangkan keduanya tidak terwujud sama sekali.

D. Rukhshah

Dalam pembahasan masalah rukhshoh ada beberapa pembahasan sebagai berikut:
Pertama: apakah terjun kedalam majlis perwakilan itu termasuk ruhkshoh
yang diperbolehkan secara syar’i.

Asy-Syathibi berkata:”Mengambil rukhshoh yang diperbolehkan secara syar’I
itu ada dua macam:

1. Hendaknya menghadapi suatu masyaqoh (keadaan berat) yang ia
tidak mungkin sabar menghadapinya.
2. Hendaknya menghadapi suatu masyaqoh yang ia masih memungkinkan
untuk bersabar menghadapinya. (Lihat Al-Muwafaqot I/320)

Dan yang memungkinkan untuk disamakan dengan keadaan para aktifis Islam
yang masuk kedalam majlis perwakilan itu adalah yang kedua. Mereka
menggunakan kesempatan kemerdekaan dan kebebasan yang diberikan kepadanya.
Namun apakah ini bisa dibenarkan secara syar’i. Kami katakan hal itu sama
sekali tidak bisa dibenarkan secara syar’I karena tidak ada dalil yang
mendukungnya bahkan secara tegas hal-hal di dalamnya diharamkan dalam
syari’at.

Kedua: sebuah hukum itu pada asal adalah ‘azimah (dilaksanakan sebagaimana
mestinya) adapun rukhshoh adalah sebuah pengecualian yang berdasarkan
dalil syar’i.

Kami katakan bahwasanya pada asalanya demokrasi itu adalah haram. Dan
tidak ada dalil yang menunjukkan atas adanya rukhshoh dalam masalah ini.

Imam Asy-Syathibi rahimahullah berkata:”dengan demikian jelaslah masyaqoh
dalam melawan hawa nafsu itu tidak ada rukhshoh padanya sama sekali.
Sedangkan rukhshoh yang sebenarnya adalah rukhshoh yang memenuhi syarat.
Dan jika tidak terpenuhi syaratnya maka hendaknya bagi orang yang ingin
membebaskan tanggungannya dan menyelamatkan dirinya kembali kepada hukum
asalnya. (‘azimah).” (lihat; Al-Muwafaqot I/337)

E. Ikroh

Rukhshah adalah sesuatu yang disyari’atkan karena udzur yang berat sebagai
perkecualian dari hukum asal yang menyeluruh yang mengandung larangan
dengan membatasi kebolehannya pada daerah kebutuhannya saja.
Dalam definisi yang lain dikatakan : apa-apa yang tidak dibebankan oleh
Allah kepada umat berupa kewajiban-kewajiban yang berat atau amala-amal
yang sulit.

Dari defenisi diatas bisa diambil kesimpulan bahwa yang masuk dalam
katagori rukhshah adalah sesuatu yang ada dasarnya dalam syari’at dan
tidak setiap amalan yang sulit terdapat padanya rukhshah. Rukhshah hanya
terdapat pada amalan-amalan yang tidak ada didalamnya larangan syar’I.

Jika syari’at sudah menetukan suatu amalan dengan menempuh satu jalan
tertentu maka tidak boleh membawanya kepada rukhshah kecualiberdasarkan
dalil syar’I pula.

Pertanyaan selanjutnya apakah orang–orang muslim terpaksa masuk kedalam
majlis dewan perwakilan ? Ikrah adalah memaksa seseorang untuk mengatakan
atau melakukan yang ia tidak mau melakukannya.

Mungkin para aktifis yang terlibat dalam majlis dewan perwakilan
mengatakan bahwa keikutsertaan mereka adalah karena terpaksa dan tidak ada
jalan lain yang bisa ditempuh, pernyataan seperti ini bisa dijawab dengan
penjelasan bahwa keterpaksaan itu akan berlaku jika ada kondisi berikut:
1. Ada ancaman dari orang yang memaksa terhadap orang yang dipaksa
dan yang mengancam mempunyai kemampuan untuk melaksanakan ancamannya.
2. orang yang dipaksa meresa yakin bahwa orang yang memaksanya akan
melaksanakan ancamannya.
3. Ancaman itu bisa menimbulkan penderitaan pada orang yang dipaksa
4. Sesuatu yang dipaksakan adalah sesuatu yang haram atau
mengakibatkan pada sesuatu yang haram. (Lihat: Ushul Fiqih karangan Abu
Zahroh hal. 355-356)

Apakah keempat hal diatas ada dalam diri orang-orang yang terlibat dalam
dewan perwakilan?.

Ternyata tidak, maka dalih-dalih fiqh dan berbagai alasan yang mereka
bawakan sama sekali tidak kuat bahkan lemah dalam istidlalnya, maka semoga
penjelasan ini bermanfaat bagi kita semua yang ingin memperjuangkan Islam,
sungguh sebuah amal harus diiringi keikhlasan namun tidak cukup hanya itu,
sebuah amal pun harus diiringi dengan ilmu yang benar dan ittiba di atas
sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya
(salafusshalih).

Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami
kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan itu sebagai
sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.

Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.

Wallahu A’lam


Maraji: - Ash-Shorimul Maslul, Imam Ibnu taimiyah rahimahullah
- Mudzakirotul Ushul ,Imam Asy-Syinqithi rahimahullah
- Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam, Abul hasan Al Amidi
- A’lamul Muwaqqi’in, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
- Adl-Dlorurotusy Syar’iyyah, DR Wahbah Zuhaili
- Ushul Fiqih, Abu Zahroh

Janganlah Engkau Pertaruhkan Kaum Muslimin

(Larangan Meminta Jabatan Dalam Islam)

Oleh : Abu Hanan Sabil Arrasyad

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan
dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan
barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi
petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk
disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap
kesesatan ada di neraka.

Dari Abu Musa Radiyallahu anhu katanya: Aku dan dua orang lelaki dari
kaumku bertemu dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam Salah seorang dari
kedua lelaki tersebut berkata: Angkatlah kami menjadi pemimpin wahai
Rasulullah!. Yang seorang lagi juga berkata demikian. Lalu baginda
bersabda: "Sesungguhnya kami tidak mengangkat dalam urusan ini siapa yang
memintanya atau bercita-cita untuk mendapatkannya" (Hr Bukhari dan
Muslim).

Hadist diatas menjelaskan kaidah besar bagi kaum muslimin dalam urusan
kepemimpinan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak
memberikan jabatan kekuasaan kepada orang yang meminta jabatan dan
menginginkan jabatan tersebut.

Al Imam Al Baidawi bahkan dengan tegas menjelaskan “ tidak sepatutnya
seorang yang berakal merasa gembira menerima kenikmatan yang akan diikuti
dengan penyesalan, berkata Al Muhallab “ keinginan untuk memperoleh
kekuasaan adalah sebab terjadinya peperangan diantara manusia karena hal
tersebut ditumpahkannya darah, tercemarinya harta dan kehormatan (Imam Ibn
Hajar Al Asqolani Fathul Bari syarah shahih bukhari)

Dalam Hadist lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim,
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menasihati sahabatnya Abdurrahman
bin Samurah Wahai `Abd ar-Rahman! Janganlah engkau meminta kepemimpinan.
Sesungguhnya jika engkau diberikannya dengan pemintaan maka engkau
ditinggalkan (tidak ditolong Allah dalam mengurusnya). Sekiranya engkau
diberikannya tanpa pemintaan maka engkau dibantu" (Hr Bukhari dan Muslim).

Al Imam al-Hafiz Ibn Hajar al`Asqolani menjelaskan dalam Fathul Bari:
"Maksud hadist di atas ialah siapa yang meminta kepemimpinan lalu
diberikan kepadanya maka dia tidak diberikan bantuan disebabkan
keinginannya...".katanya lagi: "siapa yang tidak mendapat bantuan dari
Allah terhadap pekerjaannya maka dia tidak akan mempunyai kemampuan
melaksanakan pekerjaan tersebut. Oleh karena itu maka tidak sepatutnya
diterima pemintaannya (untuk menjadi pemimpin) (Taisir al-Karim ar-Rahman,
763, Cetakan Muassasah al-Risalah, Beirut)

Maka wajar hari ini kita saksikan hari ini kaum muslimin yang terjerumus
dalam lembah politik demokrasi, dengan partai-partainya mencari jabatan
kepemimpinan walaupun dengan berbagai alasan yang mereka paksakan, mereka
sama sekali tidak berhasil menegakkan syariat Islam di muka bumi ini,
walaupun mereka telah lelah berkali-kali masuk parlemen untuk mencari
kekuasaan dan kepemimpinan yang mereka kira dapat merubah nasib kaum
muslimin, Sungguh mungkin mereka lalai dari ayat Allah

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah. nasib suatu kaum, sampai kaum itu
merubah nasibnya sendiri ( Qs Ar-ra’d:11 )

Allah jelaskan di ayat tersebut bahwa merubah nasib kaum muslimin adalah
dengan cara merubah diri-diri mereka (kaum muslimin) sendiri, bukan
mengejar kekuasaan dan kepemimpinan seakan-akan kepemimpinan itulah yang
dapat merubah nasib kaum muslimin.

Maka ibroh dari hadist dan ayat diatas jelas, dengan kata lain, siapa yang
meminta kepemimpinan, maka Allah tidak akan menolongnya jika dia
memerintah. Siapa yang tidak ditolong Allah tentu dia gagal melaksanakan
amanah seperti yang dikehendaki Allah, sama saja baik yang kecil ataupun
yang besar dan dalam urusan apapun. Orang tersebut telah dipastikan tidak
akan dibantu Allah adalah nyata sebuah kegagalannya sejak pertama, maka
wajar jika dia dihalangi dari mendapatkan kepemimpinan tersebut.

Bahkan yang lebih jelas lagi diantara partai-partai di dalam tubuh kaum
muslimin yang terjerumus dalam lembah demokrasi mereka menginginkan
kepemimpinan berkampanye mempromosikan diri mereka, menggangkat diri
mereka, mereka meletakkan kesucian kepada diri mereka, padahal jelas Allah
telah berfirman "... maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah
yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa."(An-Najm: 32).

Syeikh Abdurrahman Nasir as sa'di rahimahullah dalam tafsirnya
menjelaskan "Ayat tersebut bermaksud jangan kamu memberitahu manusia
mengenai kesucian (kebaikan) dirimu karena mencari pujian di sisi mereka
(Taisir al-Karim ar-Rahman, 763, Cetakan Muassasah al-Risalah, Beirut)

Maka Al Imam as Syaukani rahimahullah mengatakan “Kesimpulannya, apabila
seseorang yang meminta kepemimpinan maka tidak mendapat pertolongan Allah,
maka apa-apa jabatan yang dipegangnya akan menjatuhkannya dalam kesusahan
dan kerugian dunia dan akhirat, maka tidak dihalalkan mengangkat orang
seperti itu” (Nailul-Autar, 9/159, cetakan Darul Jail, Beirut).

Maka dari semua penjelasan di atas terjawablah mengapa kaum muslimin yang
diwakili oleh harakah-harakah Islam saat ini, yang mereka memperjuangkan
Islam melalui pintu demokrasi dengan berparlemen mencari kepemimpinan,
mereka belum dapat berhasil menegakkan syariat Islam di negeri-negeri kaum
muslimin, dikarenakan cara yang mereka pakai menyelisihi sunnah Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam dan perjalanan para sahabat yang mengikuti
beliau dengan ittiba. Kemudian di sebagian tempat ketika mereka berkuasa
sekalipun mereka justru terjerumus kepada praktek sekularis dan liberalis
dikarenakan mereka berjuang melalui jalur kaum liberalis yaitu demokrasi
yang memang alat imprealis untuk memecah belah kaum muslimin.

Maka dalih-dalih yang mereka biasa pakai diantaranya bahwa demokrasi
sebagai sarana mengambil manfaat pun tertolak karena telah jelas kaidah
ushul fiqh yang menyatakan
dar'ul mafasid muqoddamun 'ala jalbil masholih". Artinya, mencegah
kerusakan harus didahulukan daripada berniat mengambil manfaat.

maka kita katakan memang demokrasi menurut anda ada manfaatnya namun
mudharatnya jelas lebih besar dari manfaat tersebut seperti juga judi dan
khamr yang mempunyai manfaat.

“Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, akan tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".(Qs
Al-Baqarah: 219).

Wahai saudaraku janganlah berjudi mempertaruhkan kaum muslimin di
meja-meja pemilu , ada kalah, ada menang, sungguh wahai saudaraku kita
akan selalu kalah,

Mengapa?

karena kita bukanlah penjudi yang baik. dan karena jalan itu bukanlah
jalan yang Allah tetapkan dalam perjuangan Islam.ingat bukan kemenangan
disisi manusia yang kita cari wahai saudaraku.

Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami
kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan itu sebagai
sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.

Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.

Wallahu A’lam

JANJI ALLAH KEPADA KAUM MUKMININ (SOLUSI PERMASALAHAN UMMAT)

Oleh : Abu Hanan Sabil Arrasyad

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan
dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan
barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi
petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk
disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap
kesesatan ada di neraka.

Sungguh saya menulis risalah ini bukan atas dasar kebencian dan kedengkian
kepada saudara-saudara saya, saya menulis risalah ini bukan pula karena
untuk menggembosi partai mereka, saya menulis ini bukan pula untuk
mencari-cari kesalahan mereka, Sungguh saya menulis risalah ini diatas
dasar kecintaan kepada kaum muslimin, semoga risalah singkat ini
bermanfaat.

“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman“ (Adz Dzariyyat : 55).

Allah Ta’ala berfirman :

"Allah berjanji bagi orang-orang yang beriman di antara kalaian dan
beramal shalih dan bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan sebagai
penguasa (pemimpin) di muka bumi sebagaimana orang-orang terdahulu telah
berkuasa., dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhaiNya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menggantikan kondisi
mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa, Mereka
tetap beribadah kepadaKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
denganKu, Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik (QS. 24. An-Nur: 55).

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menerangkan “Ini adalah
Janji Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam bahwa Dia
akan menjadikan umatnya sebagai khalifah dan pemimpin di muka bumi ini.
Seluruh umat akan tunduk dibawah kekuasaan mereka dari perasaan takut yang
dulu selalu menghantui menjadi perasaan aman sentosa penuh ketenangan…
(Tafsir Ibnu Katsir III).

Asy Syaikh Abdurrahman Nasir As Sa’di rahimahullah berkata tentang surat
An Nur ayat 55 diatas Janji yang diberikan Allah Ta’ala dalam ayat ini
akan terus berlaku sampai hari kiamat. Selama mereka menegakkan keimanan
dan amal shalih maka pasti akan diperoleh apa yang dapat dikuasai oleh
orang-orang kafir dan munafik, maka itu disebabkan mereka menyia-nyiakan
iman dan amal shalih yang diperintahkan kepada mereka (Tafsir As Sa’di).

Di ayat diatas jelas sekali syarat yang Allah berikan yaitu Iman (tauhid
dan keikhlasan yang bersih dari berbagai macam kesyirikan) dan Amal shalih
(amalan yang ittiba mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam diatas manhaj salafusshalih jauh dari bid’ah dan ta’assub
hizbiyah), kedua syarat inilah yang harus dipenuhi kaum muslimin, yang
hari-hari ini sebagian mereka terperosok kepada amalan-amalan bid’ah
bahkan sebagian lainnya terperosok ke dalam kesyirikan. Sementara
mental-mental kaum muslimin yang lemah dihinggapi penyakit wahn.

'Telah berkumpul umat-umat untuk menghadapi kalian, sebagaimana
orang-orang yang makan berkumpul menghadapi piringnya'. Mereka berkata :
Apakah pada saat itu kami sedikit wahai Rasulullah ? Beliau menjawab :
'Tidak, pada saat itu kalian banyak, tetapi kalian seperti buih di lautan,
dan Allah akan menghilangkan rasa takut dari dada-dada musuh kalian kepada
kalian, dan Allah akan menimpakan pada hati kalian penyakit Al-Wahn'.
Mereka berkata : Apakah penyakit Al-Wahn itu wahai Rasulullah?. Beliau
menjawab :'Cinta dunia dan takut akan mati". [Haadits Shahih, diriwayatkan
oleh Abu Daud (4297), Ahmad (5/287), dari hadits Tsaubah Radhiyallahu
anhu, dan dishahihkan oelh Al-Albani dengan dua jalannya tersebut dalam
As-Shahihah (958)]

Keadaan yang tragis tersebut ditambah lagi sebagian kaum muslimin yang
terperosok memakai cara kuffar dengan demokrasinya. Mereka tidak sadar
bahwa cara itulah salah satu alat pemecah belah kaum muslimin, mereka
lebih sering tertipu dan takut dengan dzon (dugaan- dugaan) mereka
sendiri, bahwa kaum kuffar akan menguasai mereka, partai kuffar akan
membunuh dan membrangus mereka, yang ini memang merupakan salah satu ciri
bagian dari wahn yang timbul dari kelemahan iman mereka, terhadap ayat dan
janji Allah di dalam Al Qur’an dan hadist.

Syaikh Abdul Malik Ar Ramadhani hafidzahullah pernah mengatakan ketika
mendengar pembicaraan emosional “orang-orang kafir akan memerangi kaum
muslimin, menumpahkan darah, merampas harta... dst“ beliau berkata
pembicaraan seperti ini hanyalah menyibukkan dan menyia-nyiakan waktu,
hanya membuat kaum muslimin miris dan menganggap semua kekuatan milik
orang kafir. Jadi pada hakikatnya ini adalah pembicaraan untuk mengukuhkan
orang kafir, bukan perbicangan untuk memberikan semangat bagi kaum
muslimin untuk menghadapi orang-orang kafir, karena hal itu tidak lebih
dari ratap dan jerit tangis. Yang seperti ini tidak ada
manfaatnya.....namun yang kita inginkan adalah kita bersama-sama menempuh
cara Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam memperbaiki keadaan...“

Sungguh benar perkataan beliau hafidzahullah, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam mendidik (tarbiyah) ummatnya dengan sunnah, membersihkan aqidah
mereka (tasfiyah) dengan Tauhid dan keikhlasan tidak pernah beliau
menceritakan keadaan Romawi dan Parsi saat itu sehingga menakut-nakuti
kaum muslimin, karena hal itu bukanlah cara Islam, yang Nabi shallallahu
alaihi wa sallam lakukan adalah memperkuat aqidah kaum muslimin dengan
tauhid dan sunnah. Menanamkan janji Allah pada mereka, yang mereka imani
janji-janji Allah tersebut dengan kuat di hati-hati dan jiwa mereka.

"Sesungguhnya Allah telah melipatkan bumi ini bagiku, lalu aku dapat
melihat yang paling timur dan barat, dan sesungguhnya kekuasaan umatku
akan sampai kepada apa yang telah dilipatkan untukku itu". (HR. Muslim
8/171, Abu Dawud 4252, Tirmidzi 2/27, Ibnu Majah 2952, dan Ahmad 5/278 dan
284 dari haditsnya Tsauban dan Syadad bin Aus).

Maka dengan kesabaran dan keimanan yang kuat mereka merealisasikan janji
Allah tersebut walaupun jumlah mereka yang masih sedikit.

“Betapa banyak pasukan kecil bisa mengalahkan pasukan yang besar dengan
idzin Allah Dan Allah bersama orang-orang yang sabar“ (Qs Al Baqoroh
:249).

Sungguh kehinaan dan musibah kepada kaum muslimin saat ini tidak lepas
dari kesalahan yang mereka lakukan sendiri, bukan semata-mata karena
kekuatan orang kafir.

"Jika kalian sudah jual beli dengan ‘inah(salah satu bagian riba),
memegang ekor sapi, rela dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, maka
Allah akan menimpakan kehinaan dan Alllah tidak akan melepaskan kehinaan
tersebut sampai kalian kembali kepada agama kalian" (HR Abu Daud dan
dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih Abu Daud No.3956)
Agama yang telah Allah sempurnakan,hingga buang hajat pun diatur di dalam
Islam, lantas mengapa kaum muslimin masih mengambil sistem experimen
seperti demokrasi dan berbagai anasirnya.
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku sempurnakan
nikmat-Ku kepadamu dan Aku ridha Islam menjadi agamamu" (Al Maidah:3).

Imam Malik berkata ketika menafsirkan ayat ini: "Tidak akan baik umat yang
belakangan ini kecuali dengan sesuatu yang telah membuat baik umat
terdahulu (yakni para shahabat radiyallahu’anhum)

Maka kewajiban kita saat ini adalah berjalan di atas manhaj Rasulullah dan
para sahabatnya, meyakini janji Allah di dalam surat An Nur ayat 55. dan
menerapkan metode mereka dengan aqidah dan keyakinan yang semua hal
tersebut membutuhkan kesabaran.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan masyarakat Islam menjadi dua
bagian yaitu orang yang berilmu dan yang bukan berilmu (awam). Dan Allah
mewajibkan kepada masing-masing di antara keduanya apa-apa yang tidak
Allah wajibkan kepada yang lainnya. Maka kewajiban atas orang-orang yang
bukan ulama adalah hendaknya mereka bertanya kepada ahli ilmu. Dan
kewajiban atas para ulama adalah hendaknya menjawab apa-apa yang
ditanyakan kepada mereka. Maka kewajiban-kewajiban berdasarkan pijakan ini
adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu itu sendiri. Seorang
yang berilmu pada saat ini kewajibannya adalah berda'wah mengajak kepada
da'wah yang hak sesuai dengan batas kemampuannya. Dan orang yang bukan
berilmu kewajibannya adalah bertanya tentang apa-apa yang penting bagi
dirinya atau bagi orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya seperti
istri, anak atau semisalnya. Sehingga apabila seorang muslim dari
masing-masing bagian ini menegakkan kewajibannya sesuai dengan
kemampuannya, maka dia telah selamat, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya". (Al-Baqarah : 286)

“Jika kamu menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolong kamu dan
mengokohkan kedudukanmu” (Qs Muhammad: 7)

Di ayat ini para mufassirin telah sepakat bahwa makna nashrullah
(pertolongan Allah) adalah beramal dengan hukum-hukum Allah Ta’ala.
Termasuk diantaranya adalah beriman kepada hal-hal ghaib yang Allah
jadikan syarat pertama bagi kaum mukmimin dengan firmannya:

“ Orang-orang yang beriman terhadap yang ghaib dan menegakkan sholat” (Qs
Al Baqoroh : 3).

Maka apabila pertolongan Allah tidak turun kecuali dengan menegakkan
hokum-hukumNya, Maka bagaimana kita dapat masuk kedalam jihad ‘amali
(yakni perang di medan tempur yang kita mengharapkan pertolongan Allah
turun padanya). Bagaimana kita dapat berjihad (qital) sedangkan aqidah
kita rusak? Sedangkan kaum muslimin sendiri terjerumus kepada kesyirikan
dan bid’ah yang merajalela?.

Hanyalah ilmu itu didapat dengan cara mempelajarinya, dan hanyalah hilm
(sikap bijak) itu diperoleh dengan cara tahallum (usaha bersikap bijak)
(HR Al Khatib dishahihkan oleh Imam Al Albani dalam Ash Shahihah 342)

Maka Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan :

“Maka wajib atas para ulama kaum muslimin untuk berjihad bil ilmi dengan
melakukan tashfiyah dan tarbiyah dengan cara mengajari kaum muslimin
tauhid yang benar dan keyakinan-keyakinan yang benar serta ibadah-ibadah
dan akhlak. Semuanya itu sesuai dengan kemampuannya masing-masing di
negeri-negeri yang dia diami, karena mereka tidak mampu menegakkan jihad
menghadapi Yahudi dalam satu shaf (barisan) selama mereka keadaannya
seperti keadaan kita pada saat ini, saling berpecah-belah, tidak
berkumpul/bersatu dalam satu negeri maupun satu shaf (barisan), sehingga
mereka tidak mampu menegakkan jihad dalam arti perang fisik untuk
menghadapi musuh-musuh yang berkumpul/bersatu memusuhi mereka. Akan tetapi
kewajiban mereka adalah hendaknya mereka memanfaatkan semua sarana syar'i
yang memungkinkan untuk dilakukan, karena kita tidak memiliki kemampuan
materi, dan seandainya kita mampu pun, kita tidak mampu bergerak, karena
terdapat pemerintahan, pemimpin dan penguasa-penguasa dalam kebanyakan
negeri-negeri kaum muslimin menjalankan politik yang tidak sesuai dengan
politik syar'i, sangat disesalkan sekali. Akan tetapi kita mampu
merealisasikan -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala- dua perkara agung
yang saya sebutkan tadi, yaitu tasfiyah (pemurnian aqidah kaum muslimin
dengan Tauhid dan keikhlasan ) dan tarbiyah (pendidikan kaum muslimin
diatas sunnah shahihah jauh dari bid’ah dan ta’assub hizbiyyah dan
mazhabiyah ). Dan ketika para da'i muslim menegakkan kewajiban yang sangat
penting ini di negeri yang menjalankan politiknya tidak sesuai dengan
politik syar'i, dan mereka bersatu di atas asas ini (tasfiyah dan
tarbiyah), maka yakinlah pada suatu hari akan terjadi apa yang Allah
katakan :

"Artinya : Dan di hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena
pertolongan Allah Dia menolong siapa yang Dia kehendaki, dan Dia Maha
Perkasa lagi maha Penyayang". (Ar-Ruum : 4-5)

Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami
kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan itu sebagai
sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.

Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.

Wallahu A’lam

Menjawab Syubhat Fatwa Demokrasi



Oleh : Abu Hanan Sabil Arrasyad

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan
dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan
barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi
petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk
disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap
kesesatan ada di neraka.


“ Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau engga menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” ( An Nisa : 135 )

Diantara orang-orang yang pro dengan demokrasi dan dan pro pemilu (kaum
hizbiyun) ada yang mengatakan “ Ulama-ulama Ahlussunnah yang mulia telah
berfatwa tentang disyariatkannya demokrasi dan pemilu bahkan bolehnya di
masuk di dalam parlemen.Para Ulama tersebut jelas bukan orang-orang
hizbiyun (fanatik partai dan kelompok). Diantara mereka ada Syaikh
Nashirudin Al Albani Ahli hadist zaman ini Syeikh Ibnu Baz dan Syeikh
Ibnu Ustaimin rahimahumullah. Lantas apakah kita golongkan mereka kepada
yang telah lalu?
Jawabannya tentu tidak karena mereka adalah ulama kita mereka pelindung
Islam dan mereka adalah orang-orang yang dengan tegas selalu
memperingatkan tentang bahaya hizbiyah begitu juga para masyaikh yang lain
seperti Syeikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’I Muhaddist negeri yaman. Adapun
berkenaan fatwa para ulama tersebut fatwa-fatwa mereka bersyarat dengan
batasan-batasan syar’I, Diantaranya apabila maslahat yang besar dapat
dicapai atai menolak mafsadat yang besar melakukan mafsadat yang kecil
dengan tetap menjaga batasan-batasan dalam kaidah ini.kemudian hal
tersebut pun jika memang seorang tersebut sudah berada di dalam parlemen
kuffar namun dia baru menyadari tentang hukum-hukumnya, dan kejelekkan
demokrasi dan lainnya dan dia tidak mampu keluar dari parlemen tersebut
(mungkin ancaman dibunuh dan lainnya, atau seperti Najasyi Raja Habsyah
yang mengetahui Islam setelah dia menjadi pemuka pemerintahan Kristen di
habsyah) artinya mereka memang sudah berada di dalam parlemen tersebut
baru mengetahui hukumnya (terpaksa) bukan mereka memasuki parlemen dengan
menjadi calon di dalam pemilu dengan mencari dan mengejar jabatan, dan
banyak syarat-syarat lainnya, Akan tetapi da’i-da’I demokrasi ini tidaklah
menjaga batasan-batasan tersebut. Bahkan yang lebih parah lagi mereka
membawa-bawa ulama-ulama salaf yang terdahulu seperti Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan muridnya Imam Ibnu Qayyim Rahimahumullah padahal jelas-jelas
ulama-ulama tersebut dengan tegas tidak pernah berfatwa tentang demokrasi
dan sikap mereka tegas dalam masalah al wala wal baro tidak mencampurkan
antara ajaran-ajaran yang bukan dari Islam ke dalam Islam dengan
label-label syariat.
Syarat-syarat mempergunakan kaidah “ melakukan kerusakan yang lebih kecil
demi menangkal kerusakan yang lebih besar”

1. Kemaslahatan yang diharapkan memang benar adanya ( seperti yang
dilakukan Syeikhul Islam ketika membiarkan orang-orang kafir Tartar
meminum khamr karena jika mereka diingkari, pekerjaan mereka ketika tidak
mabuk adalah membunuhi kaum muslimin) bukan mengambil sesuatu yang masih
mengambang dan belum jelas. Kita tidak boleh melakukan suatu kerusakan
yang nyata dengan alas an untuk menarik kemaslahatan yang belum pasti.
Seandainya system demokrasi memang menopang Islam dan Syariatnya dengan
sebenar-benarnya, pastilah (orang-orang partai) di Mesir, Syam, Al
Jazair,Pakistan, Turki,atau di negeri lain di muka bumi telah sukses
semenjak enam puluh tahun yang lalu. Begitu pula di Indonesia lihatlah
negeri ini semenjak merdeka sampai saat ini, Islam selalu diperjuangkan
dengan system demokrasi, maka tidak akan pernah menggapai apa yang
diinginkan oleh pembawa Islam pertama kali yaitu Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam.

2.Kemaslahatan yang diharapkan lebih besar daripada kerusakan yang
dilakukan itu dengan pemahaman ulama yang kokoh ilmunya Bukan dengan
pemahaman orang-orang tenggelam dalam pergerakan fanatik hizbiyah atau
juga para pengamat partai.
Orang yang mengetahui kerusakan demokrasi yang banyak adalah penghapusan
syariat Islam dan tidak butuh kepada para Rasul, karena halal dan haram
oleh mereka ditentukan dengan pendapat mayoritas bukan dengan apa yang
dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Orang yang mengetahui bahwa diantara kerusakan demokrasi adalah
melenyapkan pondasi Al wala wal baro’ karena agama menyamarkan aqidah yang
jelas demi merekrut hati dan suara serta meraup kursi parlemen. Orang yang
mengetahui hal ini tidak akan mengatakan bahwa masuk parlemen lebih ringan
bahayanya bahkan yang benar adalah sebaliknya, dan kaulaupun kita terima
bahwa hal itu seimbang antara mudhorot dan maslahat maka kaidah yang harus
dipakai adalah menolak bahaya dikedepankan daripada mengambil maslahat.

3. Hendaknya tidak ada jalan untuk menggapai kemaslahatan tersebut,
kecuali dengan mengatakan bahwa dalam perkara ini tidak ada jalan berarti
kita telah memvonis manhaj Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam tidak
layak pakai untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi.
Adapun orang-orang yang mengikuti kebenaran mengetahui bahwa metode
demokrasi dan kehidupan multi partai tidak menambah apa-apa kecuali hanya
memperlemah saja. Karena sebab itulah musuh-musuh Islam dari kalangan
Yahudi, nashara dan lain-lainnya terus berupaya melestarikan berhala ini
di bumi lihatlah antek-antek mereka yang berhaluan liberal selalu
mengatasnamakan demokrasi dan HAM untuk menyerang Islam dari luar maupun
dari dalam hingga tokoh ulama hizbi pun mereka masukkan ke dalam daftar
pengikut mereka karena membela demokrasi (lihat orientalis Charles
Kurzman. Dalam bukunya Islam Liberal memasukkan Dr Yusuf Qardawi
hafizhullah sebagai seorang tokoh liberal)
Dan Allah maha mengetahui di balik semua itu.

Sebagai catatan:
Kenapa kita dapati orang-orang hizbiyun tidak berpegang kepada ulama-ulama
mereka sendiri (ulama hizbi) yang berfatwa tentang bolehnya demokrasi dsb,
mengapa mereka malah berpegang kepada fatwa ulama ahlussunnah seperti
Syeikh Al Albani, Syaikh Bin Baz dan Syeikh Ibnu Ustaimin Rahimahumullah?


Jawabannya:


Sesungguhnya ulama-ulama hizbiyun di berbagai Negara muslim telah
tenggelam dalam fanatik golongan (tahazzub) Sesungguhnya fanatik golongan
ini adalah penyakit yang mematikan dengan sebab itulah kaum muslimin tidak
puas dengan fatwa mereka. Karena seringnya mereka mengaburkan
masalah-masalah agama. Hingga hal ini terjadi mereka mengambil mencomot
fatwa ulama ahlussunnah tatkala mereka terdesak.


Dan apabila mereka telah tidak membutuhkan hal itu, maka mereka pun
berujar bahwa ulama Ahlussunnah adalah orang-orang bodoh yang tidak
mengerti fiqhul waqi” (fikih realitas) hanya mengerti kulit saja dan
permasalah-permasalahan remeh temeh. Dan berbagai tuduhan-tuduhan keji
lainnya.Sekadar contoh ketika Syeikh Abdul Aziz Bin Baz berfatwa dalam
masalah syarat dan ketentuan mengadakan perjanjian damai dengan Yahudi
maka mereka tidak henti-hentinya mencela menentang dan menghina beliau.
Siapakah yang mampu membungkam mereka? Siapakah yang mampu membuat mereka
puas? Akhirnya masing-masing baik yang berilmu maupun yang tidak berilmu
seakan-akan syeikh Ibnu Baz adalah orang yang tidak mempunyai ilmu
pengetahuan dan pengalaman, maka berteriaklah mereka di mimbar-mimbar
mereka membombardir fatwa tersebut. Bahkan Syeikh Al Albani dikatakan
oleh para fanatik hizbiyah ini sebagai seorang kaki tangan zionis karena
menasihati mereka. ( kaset ceramah tokoh partai FIS Al Jazair ) atau
pemotongan kaset nasihat Syeikh Ibnu Ustaimin kepada para pemuda FIS.(
madariku annadzhor fi as siyasah, Syeikh Abdul malik Al Jazairi) dengan
menghilangkan nasihat hanya kaset pujian saja yang diedarkan.
Itulah sikap mereka kaum hizbiyun yang sebenarnya terhadap ulama ahlussunnah.

Alhamdulillah ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah senantiasa berprasangka
baik dan bersabar kepada manusia. Allah Maha Mengetahui antara orang yang
membuat kebaikan dan yang membuat kerusakan.
Demikian juga, bila mereka konsisten dengan fatwa Syaikh Al Albani,Syaikh
Bin baz dan Ibnu Ustaimin maka mereka harus menerima fatwa mereka dalam
mengharamkan tahazzub (fanatick golongan dan partai), maulid Nabi
Shallallahu alaihi wasallam. Taqlid kepada tokoh-tokoh mereka, tawassul
dan lain-lain yang mereka masih melakukan hal-hal tersebut

“ Mengapa kamu mencampur adukkan antara yang haq dengan yang bathil dan
menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui” (QS Ali Imran :71)

Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami
kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan itu sebagai
sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.

Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.

Wallahu A’lam


Maraji: Madariku an nazhar fi as siyasah,
( Syeikh Abdul Malik Ramadlan Al Jazairy)
Tanwir Azh Zhulumat bi Kasyfi mafasid wa Syubhat
Al intikhabaat
(Syeikh Muhammad Bin Abdillah Al Imam)

POLIGAMI MEMANG SUNNAH, JIKA DIJALANKAN DENGAN BENAR

(tanggapan terhadap tulisan Faqihuddin Abdul Qodir dari situs jaringan
islam liberal)
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=338

Oleh: Abu hanan sabil Arrasyad

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan
dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan
barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi
petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk
disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap
kesesatan ada di neraka.

ayat tentang poligami jelas di dalam surat an nissa'3

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”

maka poligami adalah sesuatu hal yang mubah dan halal dan diperbolehkan
dalam Islam.maka mengharamkannya adalah sesuatu yang melampaui batas.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.(Al-Maa-Idah 87)

dan poligami memang merupakan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
namun dalam agar ia benar-benar menjadi sunnah haruslah dipenuhi
syarat-syaratnya, karena sebagian laki-laki hanya menggunnakan label
sunnah ini untuk melakukan poligami tetapi mereka tidak memenuhi
syarat-syaratnya sehingga menyebabkan mereka sendiri melampaui batas dan
terjerumus dalam kedzaliman.

Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga
hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki
kemampuan untuk adil diantara para istri

Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, yaitu dengan
memberikan kepada masing-masing istri hak-haknya. Adil disini lawan dari
curang, yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya
dan mengambil dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil
dapat diartikan persamaan. Berdasarkan hal ini maka adil antar para istri
adalah menyamakan hak yang ada pada para istri dalam perkara-perkara yang
memungkinkan untuk disamakan di dalamnya.

Adil adalah memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan haknya. Apa
saja hak seorang istri di dalam poligami?

Diantara hak setiap istri dalam poligami adalah sebagai berikut:

1. Memiliki rumah sendiri (tempat tinggal sendiri)

Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 33, yang artinya,
“Menetaplah kalian (wahai istri-istri Nabi) di rumah-rumah kalian.” Dalam
ayat ini Allah Azza wa Jalla menyebutkan rumah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa rumah beliau
tidak hanya satu.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radhiyallahu 'Anha
menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sakit
menjelang wafatnya, beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya, “Dimana
aku besok? Di rumah siapa?’ Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
menginginkan di tempat Aisyah Radhiyallahu 'Anha, oleh karena itu
istri-istri beliau mengizinkan beliau untuk dirawat di mana saja beliau
menginginkannya, maka beliau dirawat di rumah Aisyah sampai beliau wafat
di sisi Aisyah. Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam meninggal di hari
giliran Aisyah. Allah mencabut ruh beliau dalam keadaan kepada beliau
bersandar di dada Aisyah Radhiyallahu 'Anha.

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Mughni bahwasanya
tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang istri dalam satu rumah
tanpa ridha dari keduanya. Hal ini dikarenakan dapat menjadikan penyebab
kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya. Masing-masing istri
dimungkinkan untuk mendengar desahan suami yang sedang menggauli istrinya,
atau bahkan melihatnya. Namun jika para istri ridha apabila mereka
dikumpulkan dalam satu rumah, maka tidaklah mereka. Bahkan jika keduanya
ridha jika suami mereka tidur diantara kedua istrinya dalam satu selimut
tidak mengapa. Namun seorang suami tidaklah boleh menggauli istri yang
satu di hadapan istri yang lainnya meskipun ada keridhaan diantara
keduanya.

Tidak boleh mengumpulkan para istri dalam satu rumah kecuali dengan ridha
mereka juga merupakan pendapat dari Imam Qurthubi di dalam tafsirnya dan
Imam Nawawi dalam Al Majmu Syarh Muhadzdzab.


2. Menyamakan para istri dalam masalah giliran

Setiap istri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim
meriwayatkan hadits yang artinya Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memiliki 9 istri. Kebiasaan beliau
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bila menggilir istri-istrinya, beliau
mengunjungi semua istrinya dan baru behenti (berakhir) di rumah istri yang
mendapat giliran saat itu.

Ketika dalam bepergian, jika seorang suami akan mengajak salah seorang
istrinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut
serta dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah
Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang
akan beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sertakan dalam safarnya. Beliau
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam biasa menggilir setiap istrinya pada hari
dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena jatahnya telah diberikan
kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa seorang suami
diperbolehkan untuk masuk ke rumah semua istrinya pada hari giliran salah
seorang dari mereka, namun suami tidak boleh menggauli istri yang bukan
waktu gilirannya.

Seorang istri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat jatah giliran
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah
Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam ingin bermesraan dengan istrinya namun saat itu istri Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sedang haid, beliau memerintahkan untuk
menutupi bagian sekitar kemaluannya.

Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah, ulama besar dari Saudi
Arabia, pernah ditanya apakah seorang istri yang haid atau nifas berhak
mendapat pembagian giliran atau tidak. Beliau rahimahullah menyatakan
bahwa pendapat yang benar adalah bagi istri yang haid berhak mendapat
giliran dan bagi istri yang sedang nifas tidak berhak mendapat giliran.
Karena itulah yang berlaku dalam adat kebiasaan dan kebanyakan wanita di
saat nifas sangat senang bila tidak mendapat giliran dari suaminya.


3. Tidak boleh keluar dari rumah istri yang mendapat giliran menuju rumah
yang lain

Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah istri yang lain yang
bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini
disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang
menceritakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di
rumah Aisyah Radhiyallahu 'Anha, tidak lama setelah beliau berbaring,
beliau bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana
diperintahkan oleh Jibril alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu 'Anha
kemudian mengikuti beliau karena menduga bahwa Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah istri yang lain. Ketika Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pulang dan mendapatkan Aisyah Radhiyallahu
'Anha dalam keadaan terengah-engah, beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah
dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?”

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak dibolehkannya masuk rumah
istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si istri sedang
sakit. Jika suami menginap di rumah istri yang bukan gilirannya tersebut,
maka dia harus mengganti hak istri yang gilirannya diambil malam itu.
Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.

Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah pernah ditanya tentang
hukum menginap di rumah salah satu dari istrinya yang tidak pada waktu
gilirannya.

Beliau rahimahullah menjawab bahwa dalam hal tersebut dikembalikan kepada
‘urf, yaitu kebiasaan yang dianggap wajar oleh daerah setempat. Jika
mendatangi salah satu istri tidak pada waktu gilirannya, baik waktu siang
atau malam tidak dianggap suatu kezaliman dan ketidakadilan, maka hal
tersebut tidak apa-apa. Dalam hal tersebut, urf sebagai penentu karena
masalah tersebut tidak ada dalilnya.


4. Batasan Malam Pertama Setelah Pernikahan

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu 'Anhu bahwa termasuk
sunnah bila seseorang menikah dengan gadis, suami menginap selama tujuh
hari, jika menikah dengan janda, ia menginap selama tiga hari. Setelah itu
barulah ia menggilir istri-istri yang lain.

Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu
'Anha mengkhabarkan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
menikahinya, beliau menginap bersamanya selama tiga hari dan beliau
bersabda kepada Ummu Salamah, “Hal ini aku lakukan bukan sebagai
penghinaan kepada keluargamu. Bila memang engkau mau, aku akan menginap
bersamamu selama tujuh hari, namun aku pun akan menggilir istri-istriku
yang lain selama tujuh hari.”


5. Wajib menyamakan nafkah

Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri, hal ini
berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila istri-istri
tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keridhaan mereka maka
tidak apa-apa.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa bersikap adil
dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu
kewajiban bagi seorang suami.

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu
'Anhu mengabarkan bahwa Ummu Sulaim mengutusnya menemui Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan membawa kurma sebagai hadiah untuk
beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kemudian kurma tersebut untuk
dibagi-bagikan kepada istri-istri beliau segenggam-segenggam.

Bahkan ada keterangan yang dibawakan oleh Jarir bahwa ada seseorang yang
berpoligami menyamakan nafkah untuk istri-istrinya sampai-sampai makanan
atau gandum yang tidak bisa ditakar / ditimbang karena terlalu sedikit,
beliau tetap membaginya tangan pertangan.


6. Undian ketika safar
Bila seorang suami hendak melakukan safar dan tidak membawa semua
istrinya, maka ia harus mengundi untuk menentukan siapa yang akan
menyertainya dalam safar tersebut.

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan bahwa kebiasaan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bila hendak safar, beliau mengundi di antara
para istrinya, siapa yang akan diajak dalam safar tersebut.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan bahwa seoarang yang safar dan
membawa semua istrinya atau menginggalkan semua istrinya, maka tidak
memerlukan undian.

Jika suami membawa lebih dari satu istrinya, maka ia harus menyamakan
giliran sebagaimana ia menyamakan diantara mereka ketika tidak dalam
keadaan safar.


7. Tidak wajib menyamakan cinta dan jima’ di antara para istri

Seorang suami tidak dibebankan kewajiban untuk menyamakan cinta dan jima’
di antara para istrinya. Yang wajib bagi dia memberikan giliran kepada
istri-istrinya secara adil.

Ayat “Dan kamu sekali-kali tiadak dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin demikian” ditafsirkan oleh
Ibnu Katsir rahimahullah bahwa manusia tidak akan sanggup bersikap adil di
antara istri-istri dari seluruh segi. Sekalipun pembagian malam demi malam
dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada perbedaan dalam rasa cinta,
syahwat, dan jima’.

Ayat ini turun pada Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam sangat mencintainya melebihi istri-istri yang lain. Beliau
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata, “Ya Allah inilah pembagianku yang
aku mampu, maka janganlah engkaucela aku pada apa yang Engkau miliki dan
tidak aku miliki, yaitu hati.”

Muhammad bin Sirrin rahimahullah pernah menanyakan ayat tersebut kepada
Ubaidah, dan dijawab bahwa maksud surat An Nisaa’ ayat 29 tersebut dalam
masalah cinta dan bersetubuh. Abu Bakar bin Arabiy menyatakan bahwa adil
dalam masalah cinta diluar kesanggupan seseorang. Cinta merupakan anugerah
dari Allah dan berada dalam tangan-Nya, begitu juga dengan bersetubuh,
terkadang bergairah dengan istri yang satu namun terkadang tidak. Hal ini
diperbolehkan asal bukan disengaja, sebab berada diluar kemampuan
seseorang.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami
untuk menyamakan cinta diantara istri-istrinya, karena cinta merupakan
perkara yang tidak dapat dikuasai. Aisyah Radhiyallahu 'Anha merupakan
istri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dari
sini dapat diambil pemahaman bahwa suami tidak wajib menyamakan para istri
dalam masalah jima’ karena jima’ terjadi karena adanya cinta dan
kecondongan. Dan perkara cinta berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Zat yang membolak-balikkan hati. Jika seorang suami meninggalkan jima’
karena tidak adanya pendorong ke arah sana, maka suami tersebut dimaafkan.
Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bila dimungkinkan untuk menyamakan
dalam masalah jima, maka hal tersebut lebih baik, utama, dan lebih
mendekati sikap adil.

Sayyid sabiq rahimahullah penulis Fiqh Sunnah menyarankan; meskipun
demikian, hendaknya seoarang suami memenuhi kebutuhan jima istrinya sesuai
kadar kemampuannya.

Imam al Jashshaash rahimahullah dalam Ahkam Al Qur’an menyatakan bahwa,
“Dijadikan sebagian hak istri adalah menyembunyikan perasaan lebih
mencintai salah satu istri terhadap istri yang lain.”

Maka hendaklah para laki-laki yang menginginkan poligami agar sesuai
dengan sunnah memenuhi hak-hak istri dalam hal ini sehingga poligami yang
dilakukan benar-benar sesuai dengan sunnah. adapun kepada wanita hendaknya
menerima poligami karena hal ini memang merupakan salah satu hal yang
diperbolehkan dalam Islam, adapun jika kita belum mampu dan berat perasaan
kita memang itu ujian dari Allah kepada wanita, namun yakinilah bahwa
syariat Islam ini mempunyai mashlahat dan hikmah yang luas. dan kewajiban
kita adalah taslim menerimanya.

"...dan mungkin kamu membenci sesuatu yang lebih baik bagi kamu, dan
mungkin kamu menyukai sesuatu yang lebih buruk bagi kamu, Allah
mengetahui, dan kamu tidak mengetahui.(Qs Al Baqoroh 216)

Dan kepada para suami yang hendak melakukan poligami hendaknya melihat
kemampuan pada dirinya sendiri, jangan sampai pahala yang dinginkan ketika
melakukan poligami malah berbalik dengan dosa dan kerugian. Dalam sebuah
hadits disebutkan (yang artinya) “Barangsiapa yang mempunyai dua istri,
lalu ia lebih condong kepada salah satunya dibandingkan dengan yang lain,
maka pada hari Kiamat akan datang dalam keadaan salah satu pundaknya
lumpuh miring sebelah.” (HR. ashabus sunan)

Adapun kepada mas faqihuddin dan teman-teman liberalnya sungguh Poligami
secara tekstual tetap harus diyakini sebagai sesuatu yang 'dibolehkan'.
Jangan sampai karena kita mengekor kepada pemikiran liberal yang anti
poligami lantas mengungkap konteks-konteks pembuktian searah sebagai
pembenaran opini anda. Meyakini teks kitab suci lebih utama daripada
meyakini tafsir analisis yang jauh dari sunnah yang bisa disetir kemana
arah yang dikehendaki.

Kebenaran teks akan berlaku sepanjang masa sementara menafsiran
kontekstual seringkali berubah karena waktu dan situasi. Dan seringkali
penggunaan data pembuktian seperti misalnya data-data statistik parsial
digunakan untuk mendukung bukti-bukti kontekstual, tanpa mau lagi melihat
data-data lain yang kurang mendukung. dan hendaknya memandang permasalah
ini dengan jernih. saya meyakini teks poligami sebagai karya agung dari
Allah Yang Maha Mengatur yang akan menghasilkan mashlahat jika ia
ditempatkan pada tempatnya sesuai sunnah Rasulullah shallalahu alaihi wa
sallam.

Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami
kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan itu sebagai
sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.

Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.

Wallahu A’lam

Membela Hadist Nabi shallallahu alaihi wa sallam

(Matannya dhoif Sanadnya Shahih?)

Oleh : Abu Hanan Sabil Arrasyad

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan
dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan
barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi
petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk
disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara
yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap
kesesatan ada di neraka.

Ketika kita membicarakan hadist tentu kita tidak lepas dari dua komponen
di dalam hadist itu sendiri Sanad dan Matan, selain komponen lainnya
tentunya.

Sanad atau Isnad secara bahasa artinya sandaran, maksudnya ialah jalan
yang bersambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan
hadits dan menyampaikannya. Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum
pencatat hadits) dan berkahir pada orang yang sebelum Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni para sahabat. Misalnya Bukhari
meriwayatkan satu hadits, maka Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin
(yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum
Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan sahabat yang meriwayatkannya hadits
itu dikatakan akhir sanad.

Matan secara bahasa artinya : kuat, kokoh, keras ; maksudnya ialah isi
atau omongan atau lafazh-lafazh hadits yang terletak sesudah rawi dari
sanad yang akhir.

Para ulama hadits tidak mau menerima hadits yang datang kepada mereka
melainkan kalau ada sanadnya, mereka lakukan yang demikian itu sejak
tersebarnya dusta atas nama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
dipelopori oleh orang-orang Syi'ah. Seorang tabi'in yang bernama Muhammad
bin Sirin (wafat th. 110H) ia berkata : "Mereka (yakni para ulama hadits)
tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah,
mereka berkata. Sebutkan kepada kami nama rawi-rawi kamu, bila dilihat
yang menyampaikan Ahlus Sunnah diterima haditsnya, tapi bila yang
menyampaikan ahlul bid'ah maka ditolak haditsnya".

Kemudian semenjak itu para ulama meneliti setiap sanad yang sampai kepada
mereka. Bila syarat-syarat hadits shahih dan hasan terpenuhi, maka mereka
menerima hadits-hadits tersebut sebagai hujjah. dan jika tidak terpenuhi
syarat-syarat tersebut mereka menolaknya.

Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah (wafat th.181 H) berkata : "Sanad
ini dari agama, kalau seandaianya tidak ada sanad, maka orang akan berkata
sekehendaknya apa yang ia mau". [syarah Muslim Nawawi 1/87]

Para ulama hadits telah menetapkan qaidah-qaidah dan pokok-pokok
pembahasan bagi tiap-tiap sanad dan matan hingga dapat diterima hadits
tersebut. Ilmu yang mebahas tentang masalah ini ialah ilmu Mushthalah
Hadits

Kemudian dalam masalah matan para ulama pun mengakui adanya kritik matan
dalam ilmu hadits sebagai salah satu cabang ilmu hadits yang 93 cabang
itu. Dalam kritik matan (naqdul matan hadits), yang diteliti memang bukan
sanad atau para perawi hadits, melainkan teks haditsnya. Sebab bisa jadi
orang yang membawa hadits itu salah dalam mengambil kesimpulan terhadap
apa yang diterimanya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam

Yang menjadi masalah adalah sebagian kaum muslimin hari ini justru
terpengaruh oleh orientalis barat dalam metodologi hadistnya, sehingga
mereka dengan mudah menghukumi sebuah hadist sebagai hadist yang muhktalaf
(bertentangan) dan kemudian menolaknya, padahal hadist tersebut telah
dishahihkan dan diteliti oleh para Imam Ahlul hadist yang memang telah
diakui keilmuannya, diantara cara yang paling awal mereka (orang-orang
yang terpengaruh orientalis)gunakan dalam penghukuman hadist tersebut
adalah hadist tersebut dipertentangkan dengan Al Qur’an sehingga akhirnya
hadist tersebut terkesan muhktalaf bertentangan dengan Al Qur an. Padahal
Al Qur’ an bersifat mujmal (umum, butuh penjelasan dari hadist), sedangkan
hadist bersifat khusus (penjelasan dari Al Qur’ an) sesuatu yang umum
tentu akan bertentangan dengan sesuatu yang khusus jika dipertentangkan.

Kerancuan metode mereka ini terjadi karena mereka sendiri belum
betul-betul memahami ilmu Mushthalah Hadits dengan berbagai
cabang-cabangnya. Sehingga tertanamlah di benak mereka pemikiran ala
orientalis (yang mereka tidak sadari) yang menuduh para Imam Hadist hanya
memperhatikan hadist dari sanadnya, padahal para Imam hadist dalam
menshahihkan dan mendhaifkan hadist telah benar-benar terlebih dahulu
meneliti dan memeriksa sanad dan matan hadist tersebut.

Kemudian setelah itu mereka merajihkan salah satunya (Al Qur an atau
Hadist) jelas jika dirajihkan salah satunya lebih rajih (kuat) Al Qur an,
disinilah akhirnya mereka terjerumus menjadi menolak sebagian hadist Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, walaupun shahih. Padahal seharusnya metode
yang tepat adalah menjama’ terlebih dahulu sebelum merajihkan salah
satunya, artinya Al Qur an dijelaskan dengan hadist dan dijama’
(dikumpulkan pemahamannya) tidak dipertentangkan.

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah dan Rasul-(Nya)". [An-Nisaa : 59].

Lihatlah di ayat ini bagaimana di dalam Al Qur an sendiri Allah menegaskan
kedudukan men‘jama’ antara Al Qur an dan hadist tersebut.

Diriwayatkan dari Mujtahid, tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
tersebut Ia berkata : "Kepada Allah artinya adalah kepada Kitabullah,
sedangkan kepada Rasul artinya adalah kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam".

Diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i dan Al-Baihaqi melalui jalur Thawus bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya aku tidak menghalalkan sesuatu kecuali yang telah
dihalalkan Allah di dalam Kitab-Nya, dan aku tidak mengharamkan sesuatu
kecuali yang telah diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya".

Berkata Asy-Syafi'i : Dan begitulah yang dilakukan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam (menghalalkan sesuatu dan mengharamkan sesuatu), dengan
demikian, terkadang beliau telah memerintahkan lalu diwajibkan kepada
beliau untuk mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya, dan kami bersaksi
bahwa beliau telah mengikuti wahyu itu. Adapun tentang ketetapan beliau
yang tidak ada wahyunya, maka sesungguhnya Allah telah mewajibkan (kita)
dalam wahyu untuk mengikuti Sunnah beliau. Barangsiapa yang menerima
Sunnah Rasulullah maka sesungguhnya dia menerima perintah Allah yang
ditetapkan dalam firman-Nya.

"Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". [Al-Hasyr : 7]

Sedangkan Al-Baihaqi dalam mengomentari hadits di atas, ia berkata :
"Kalimat 'di dalam Kitab-Nya' pada hadits di atas, jika ungkapan ini benar
maka yang dimaksud adalah pada sesuatu yang diwahyukan kepada beliau,
adapaun yang diwahyukan kepada beliau itu ada dua macam, salah satunya
adalah wahyu yang dibacakan, dan lainnya adalah wahyu yang tidak
dibacakan. "Ibnu Mas'ud telah berhujjah dengan ayat tersebut, yang juga
dijadikan hujjah oleh Imam Syafi'i, sebagaimana Imam Syafi'i berhujjah
bahwa barangsiapa yang menerima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, maka ia telah menerima berdasarkan Kitabullah, karena hukum
mengikuti beliau adalah hukum yang disebutkan dalam Kitabullah. Kemudian
Imam Syafi'i menyebutkan hadits terdahulu tentang dilaknatnya wanita yang
mentato tubuhnya.

Diriwayatkan dari Makhul, ia berkata : "Al-Qur'an lebih membutuhkan
As-Sunnah daripada As-Sunnah membutuhkan Al-Qur'an", diriwayatkan oleh
Said bin Mansur.

Diriwayatkan dari Yahya bin Abu Katsir, ia berkata : 'As-Sunnah memutuskan
(menetapkan) Al-Qur'an dan tidaklah Al-Qur'an memutuskan (menetapkan)
As-Sunnah", diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan Said bin Manshur.

Al-Baihaqi berkata : "Maksud dari ungkapan di atas, bahwa kedudukan
As-Sunnah terhadap Al-Qur'an adalah sebagai yang menerangkan sesuatu yang
datang dari Allah, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka". [An-Nahl :
44]

Bukan berarti bahwa sesuatu dari As-Sunnah bertentangan dengan Al-Qur'an.

Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah mengatakan : "Kesimpulan bahwa
maksud Al-Qur'an membutuhkan As-Sunnah adalah bahwa As-Sunnah menerangkan
Al-Qur'an, As-Sunnah merinci segala ungkapan yang bersifat umum dalam
Al-Qur'an, karena ungkapan dalam Al-Qur'an adalah ringkas dan padat hingga
dibutuhkan seseorang yang mengetahui hal-hal yang tersembunyi dalam
Al-Qur'an untuk diketahui dan yang mengetahui hal itu tidak lain hanyalah
manusia yang diturunkan kepadanya Al-Qur'an yaitu Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam. Inilah yang dimaksud dari ungkapan bahwa As-Sunnah
memutuskan (menetapkan) Al-Qur'an, dan Al-Qur'an diturunkan bukan untuk
menerangkan As-Sunnah dan bukan untuk memutuskan (menetapkan) As-Sunnah,
karena As-Sunnah sudah jelas dengan sendirinya, karena As-Sunnah belum
sampai pada derajat Al-Qur'an dalam hal keringkasan dan dalam hal
keajaibannya, karena As-Sunnah merupakan penjelasan Al-Qur'an, dan sesuatu
yang menerangkan harus lebih jelas, lebih terang dan lebih mudah daripada
yang diterangkan.

Maka kelompok yang mempertentangkan hadist dengan Al Qur ‘an ini mereka
juga tidak sadar terjerumus mengikuti metode kelompok ingkarus sunnah,
yang seakan-akan mereka membela Al Qur an padahal mereka membela akal-akal
mereka dalam mendudukkan Al Qur ‘an dan hadist.
Kemudian mereka pun terjerumus mengikuti para orientalis barat yang meski
ada satu dua yang niatnya baik dan jujur, namun umumnya adalah orang-orang
yang punya niat tidak baik terhadap ajaran Islam. Kalau pun niatnya baik,
tapi karena mereka tidak mengenal ajaran Islam dengan benar sesuai dengan
manhaj Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka baik metode maupun
kesimpulan akhirnya selalu melenceng jauh dari objektifitas.
Dan yang lebih parah lagi, umumnya para orientalis itu tidak menguasai
bahasa arab, tapi sering terdengar mereka melakukan kritik atas
kitab-kitab bahasa arab. Ini jelas dari awal tidak logis dan sama sekali
jauh dari kesan ilmiyah. Kalau pun ada satu dua yang mengerti bahasa arab
itu, maka kemampuannya sangat menyedihkan. Sehingga pada dasarnya mereka
tidak pernah mengerti dan tahu apa yang sedang mereka baca. Tapi dengan
gigih selalu melontarkan kritik disana sini.
Dan yang palng parah, mereka pun tidak pernah bisa mandiri dalam
pendapatnya. Bukti-bukti ilmiyah bercerita kepada kita bahwa para
orientalis itu memiliki struktur dan level senioritas. Umumnya yang
menjadi senior itu adalah yang paling memusuhi Islam, semacam Goldziher,
H.A.R Gib, Greetz dan sejenisnya. Bila ada di barisan yuniornya yang
menulis tentang Islam tapi agak condong untuk membela Islam, maka para
seniornya akan memusuhi dan mencaci makinya serta akan mengatakan bahwa
tulisan itu terlalu terbawa perasaan dan sentimentil.
Kemudian diantara tokoh-tokoh Islam pun ada yang terpengaruh dan mengambil
gaya pemikiran-pemikiran mereka (orientalis) diantara tokoh yang amat
berpengaruh menjembatani pemikiran mereka adalah Syeikh Muhammad Abduh
yang pernah berkata, “Para pemeluk Islam telah sepakat --kecuali sebagian
kecil di antara mereka yang tidak perlu digubris—bahwa jika aqly dan naqly
saling bertentangan, maka apa yang ditunjukkan oleh aqly harus diambil.”
Al-Islam Wan Nashraniyyah, hal. 59) dari pemikiran Muhammad Abduh inilah
kemudian lahir pemikiran-pemikiran Islam dengan gaya rasionalis yang
banyak mempertentangkan hadist dengan Al Qur an dan akal mereka, kemudian
mereka mendahulukan akal mereka di atas dua sumber tersebut.
Memang ada sedikit dari beberapa hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam yang secara zahir bisa dipahami seolah-olah saling bertentangan
satu sama lain. dan untuk mengatasi masalah itu, sudah ada sebuah cabang
ilmu hadits yang secara khusus mempelajarinya. Yaitu yang disebut dengan
Ikhtilaful Hadits. sebuah cabang ilmu hadits yang mempelajari
hadits-hadits yang kontorversial, baik karena berbeda dengan hadits
lainnya, maupun juga dengan Al-Quran bahkan termasuk yang berbeda dengan
akal.
Imam As-Syafi`i rahimahullah termasuk salah satu yang menjadi tokoh dalam
cabang ilmu ini dan secara khusus menulis buku Ihktilaful Hadits. Selain
itu juga ada Ibnu Qutaibah Ad-Danuri (wafat tahun 267 H) yang menulis
kitab Ta`wil Mukhtalaf Al-Hadits.
Alhamdulillah dengan adanya cabang ilmu ini, kita bisa mendudukkan sebuah
hadits yang secara zhahir bertentangan dengan hadits lainnya, atau dengan
Al-Quran Al-Kariem atau dengan akal. Sehingga hadits yang muhktalaf itu
tidak lantas dengan sendirinya harus dibuang, karena apa yang bisa
diberikan oleh cabang ilmu ini bisa memuaskan dan menghilangkan syak dan
keraguan atas keshahihan hadits nabawi.

Maka kepada kaum muslimin yang mereka mempunyai semangat yang tinggi dalam
menuntut ilmu hendaklah mereka tidak tergesa-gesa mendudukkan diri mereka
seakan-akan sebagai mujtahid ataupun ahlul hadist kemudian menghukumi
hadist tanpa mereka kuasai terlebih dahulu segala macam cabang ilmu
mustholahul hadist tersebut, hendaklah kita akui kedudukan para imam
hadist yang mereka memang telah sungguh-sungguh menjaga kemurnian dan
pembelaannya terhadap dien ini, Imam Bukhari rahimahullah saja mengarang
kitab Al jami’ash shahih nya selama 16 tahun. Dengan metodologi yang
memang amat ilmiyah.

Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari
berkata. "Saya susun kitab Al-Jami `ash Shahih ini di Masjidil Haram,
Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah
[[shalat istikharah]] dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan
sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih"

Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para
perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian aka kesahihan hadits yang
diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang
lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara
nalar paling sahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari
benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits. "Saya
tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits
shahih", katanya suatu saat

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan
terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat diantaranya
apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi
(periwayat/pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat) begitu pula
dengan matan hadist tersebut. Menurut Imam Ibnu Hajar Al Asqalani
rahimahullah , akhirnya Imam Bukhari rahimahullah menuliskan sebanyak
9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami'al-Shahil yang dikenal
sebagai Shahih Bukhari.

Dia berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi
yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits hadits dengan jumlah
yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku
perlu dipertimbangkan".
Orientalis barat belum pernah memiliki kemampuan untuk meneleiti suatu
riwayat secara ilmiyah. Mereka tidak memiliki ilmuwan semacam Al-Bukhari,
Muslim, An-Nasa`i, Ibnu Majah, At-Tirmizy dan lainnya yang berkelana
keliling dunia mengejar riwayat sebuah hadits. Bahkan hingga hari ini pun
mereka tidak pernah bisa membayangkannya, apalagi melakukannya.
Mudah-mudahan kita sebagai seorang penuntut ilmu tidak isti’jal
(tergesa-gesa) menghukumi suatu hadist dengan kaidah yang kita sendiri
tidak mengetahui dimana kaidah tersebut berada? Dari Imam hadist yang mana
kaidah tersebut dibuat?, sehingga kita menjadi mempertentangkan ajaran
Islam mempertentangkan hadist dengan Al Qur an dan akhirnya dengan tidak
sadar membuang sebagian ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam melalui hadist-hadistnya.
" Barangsiapa yang menta'ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati
Allah". [An-Nisaa : 80]
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". [An-Nisa : 65]
Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan
barangsiapa yang durhaka terhadapku maka ia telah durhaka terhadap
Allah".(Hr Bukhari dan Muslim).
Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami
kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan itu sebagai
sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.

Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan
bertaubat kepada-Mu.

Wallahu A’lam

Maraji :

- Kedudukan As-Sunnah Dalam Syari'at Islam oleh Ustadz Yazid Abdul Qadir
Jawas.

-Mifthul Jannah fii Al--Ihtijaj bi As-Sunnah, oleh Al-Hafizh Al-Imam
As-Suyuthi)